Dompet Rakyat Kempes: Cukai Naik, Rokok Makin Mahal

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 December 2020 07:40
Rokok, Tembakau Rokok, Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, Sampoerna Mild
Foto: Ilustrasi Produk Rokok (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Setiap bulannya masyarakat Indonesia mengeluarkan 6% dari total pengeluarannya untuk rokok. Apabila dengan kenaikan cukai sebesar 12,5% harga rokok jadi melambung 14% maka ada beberapa kecenderungan yang terjadi. 

Pertama, bagi kelompok yang aktif merokok akan tetap merokok tetapi beralih ke rokok yang lebih murah atau bahkan ilegal. Namun bagi mereka yang tetap setia pada pilihan merek rokoknya maka mereka harus rela merogoh kocek lebih banyak atau sekitar 6,6% dari total pengeluarannya. 

Dengan begitu kelompok ini harus merealokasi anggaran belanja dari pos lain untuk mengkompensasi kenaikan pengeluaran rokok. Atau bahkan ekstremnya mereka akan tetap merokok dan tak melakukan realokasi sehingga alokasi untuk tabungan atau investasi menjadi turun.

Bagi mereka yang kurang terlalu aktif merokok ada kecenderungan untuk berhenti. Bagaimanapun juga kenaikan harga rokok akan sangat berdampak pada kalangan masyarakat menengah ke bawah. 

Apalagi andil rokok terbilang besar terhadap kemiskinan. BPS mencatat kontribusi rokok terhadap kemiskinan mencapai lebih dari 10% baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. 

Bagi mereka yang merokok sekaligus rutin membayar iuran BPJS kesehatan maka mereka akan kehilangan kurang lebih hampir 8,5% dari pendapatan mereka untuk rokok dan BPJS Kesehatan. 

Di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, jumlah karyawan yang dirumahkan dan bahkan PHK meningkat. Pada Agustus lalu jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 2,77 juta orang. Hampir 10 juta orang di Tanah Air menganggur. 

Fenomena pengangguran masal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak cenderung membuat pendapatan masyarakat menurun. Namun dari sisi pengeluaran beban biayanya meningkat.

Kendati ada hampir 132 juta masyarakat yang mengikuti program BPJS Kesehatan dengan bantuan APBN maupun APBD tetap saja daya beli masih menjadi masalah utama di tengah resesi ekonomi seperti sekarang.

Daya beli masyarakat Indonesia juga terus surut. Hal ini terlihat dari kecenderungan tren inflasi inti yang melambat. Inflasi inti merupakan fenomena kenaikan harga barang yang cenderung menetap (persisten). Artinya jika inflasi inti melambat ada masalah dengan daya beli masyarakat. 

Pada November lalu, BPS melaporkan tingkat inflasi inti Indonesia berada di posisi 1,67% (yoy). Ini merupakan inflasi inti terendah dalam lebih dari 10 tahun terakhir.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular