Harga Rokok Naik 14% Tahun Depan, Apa Kabar Kantong Rakyat?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 December 2020 14:37
Rokok, Tembakau Rokok, Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, Sampoerna Mild
Foto: Ilustrasi Produk Rokok (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sah menetapkan besaran tarif cukai hasil tembakau atau rokok naik rata-rata 12,5% dan efektif per Februari tahun depan. Kenaikan tarif cukai rokok ini akan membuat harga rokok naik dobel digit dibanding tahun ini dan akan turut berkontribusi terhadap inflasi.

Pemerintah terus berupaya untuk mengendalikan prevalensi konsumsi merokok di kalangan masyarakat Indonesia dengan menaikkan cukai rokok setiap tahunnya. Sejak 2017, secara rata-rata pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 11%. 

Kenaikan paling tinggi terjadi untuk tahun 2020. Tarif cukai hasil tembakau ditingkatkan sebesar 23% tahun ini setelah tidak ada kenaikan di tahun 2019. Kenaikan cukai rokok di Indonesia disebut dapat menurunkan prevalensi merokok.

Menurut laporan Bank Dunia, dengan kenaikan cukai rokok yang konsisten di dalam negeri keterjangkauan harga rokok turun 10,2% sepanjang 2011-2017. Lebih lanjut Bank Dunia menyebut bahwa pada 2013-2016 jumlah perokok di Indonesia turun dari 36,3% menjadi 32,8%. 

Agar efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di kalangan masyarakat peningkatan tarif cukai harus mempertimbangkan beberapa hal seperti pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi. Bahkan faktor kenaikan pendapatan masyarakat harus dipertimbangkan.

Apabila pemerintah ingin menurunkan jumlah perokok secara signifikan maka tarif cukai harus ditetapkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kenaikan upah atau pendapatan setiap tahunnya.

Peningkatan sebesar 23% untuk tahun 2020 apabila dibandingkan dengan inflasi sebesar 1,5% kemudian kenaikan upah sebesar 8%-10% dan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi di zona minus maka tergolong tinggi.

Kombinasi resesi ekonomi dan peningkatan tarif cukai rokok telah terlihat jelas menurunkan penjualan rokok di tahun ini. Sepanjang Januari-September 2020 volume penjualan rokok nasional turun 9,4% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi 201,7 miliar batang. 

Implikasi dari peningkatan tarif cukai rokok sebesar 23% tahun ini adalah kenaikan harga jual sebesar 35%. Namun pada kenyataannya harga jual eceran per batang rokok sampai bulan November masih terdiskon 12% - 30% dari harga seharusnya terutama untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM). 

Namun jika dilihat sepanjang tahun 2020 ini sebenarnya harga rokok yang populer dan banyak di konsumsi masyarakat rata-rata sudah naik 9%. Namun kenaikannya tidak serempak untuk setiap merek rokok dari para produsen. Hal ini tentu berkaitan dengan strategi bisnis dari masing-masing produsen.

Mengacu pada hasil survei Bahana Sekuritas, merek-merek rokok yang mengalami kenaikan harga paling tinggi tahun ini adalah Dunhill dan Lucky Strike yang dipasarkan oleh Bentoel, kemudian ada merek LA Bold milik Djarum dan Phillip Moris Bold yang dijual oleh Sampoerna. Rokok-rokok tersebut harganya naik lebih dari 15%.

Data BPS menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai di tahun 2020 membuat inflasi rokok dan tembakau sampai dengan September lalu naik 7,06% secara tahun berjalan. Inflasi naik signifikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya di angka 2,53%. 

Sementara secara year on year (yoy) inflasi rokok dan tembakau pada September 2020 mencapai 8,75% dan menjadi inflasi tertinggi dalam kelompok makanan, minuman dan tembakau. 

Inflasi yang tinggi untuk pos rokok dan tembakau punya dampak inflasi yang cenderung minim terhadap inflasi umum. Data BPS per periode yang sama yaitu di September 2020 menunjukkan tingkat inflasi umum berada di angka 1,42% (yoy).

Untuk tahun 2020, kenaikan cukai sebesar 12,5% diperkirakan bakal berimbas pada kenaikan harga rokok sebesar 14%. Namun kemungkinan besar harga rokok di pasaran juga belum akan naik sampai sesignifikan itu. 

Alasannya tentu beragam mulai dari kenaikan harga yang tidak serempak antar merek karena mencerminkan persaingan antar produsen, kemudian yang kedua dari sisi regulasi yang masih memungkinkan masyarakat untuk dapat mengakses rokok dengan harga yang lebih rendah.

Dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai nomor 37 tahun 2017, harga transaksi pasar (HTP) diperbolehkan didiskon 85% dari harga jual eceran. Artinya jika harga jual eceran tahun depan naik menjadi Rp 1.900/batang dari Rp 1.700/batang untuk kategori SKM golongan I, maka harga diskonnya di ritel berada di kisaran Rp 1.650/batang.

Menurut laporan WHO, dampak inflasi dari kenaikan cukai rokok dapat dilihat dari dua variabel yaitu proporsi cukai terhadap harga eceran dan juga pembobotannya dalam perhitungan inflasi.

Proporsi cukai terhadap rokok di Indonesia memang tergolong di kategori medium karena ada di kisaran 50%. Namun jika melihat andil inflasi rokok terhadap total inflasi sebesar 0,13% pada 2018 ketika cukai dinaikkan 11% maka dampak inflasinya relatif rendah atau kurang dari 1%.

Apalagi jika melihat prospek perekonomian ke depan yang penuh ketidakpastian dan pendapatan masyarakat yang berpotensi masih rendah, tingkat inflasi juga masih diperkirakan jinak dan masih dalam sasaran target Bank Indonesia. 

Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis rokok yang cukainya dinaikkan oleh Kementerian Keuangan. Hanya SKM dan SPM (Sigaret Putih Mesin) saja yang tarif cukainya dinaikkan. Sedangkan untuk kategori lainnya seperti SKT dan SPT tidak.

Pertimbangannya adalah untuk melindungi pekerja di industri rokok yang mencapai lebih dari 150 ribu orang dan petani tembakau yang mencapai 2,6 juta orang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular