ENERGY REVIEW

Energi Terbarukan Bakal Bunuh Energi Fosil? Maaf, Cuma Ilusi

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 December 2020 13:36
Solar City
Foto: REUTERS/Rashid Umar Abbasi

Dalam jaringan listrik nasional, kapasitas produksi listrik harus selalu di atas beban puncaknya, untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi listrik di masyarakat. Ketika konsumsi turun, maka produksi pun diturunkan, secara real time atau bersamaan. Demikian juga sebaliknya.

Tidak (belum) ada konsep penyimpanan listrik ke dalam baterai, yang bakal dilepas ke pengguna ketika beban puncak terlampaui. Oleh karenanya, produksi listrik dalam skala nasional harus berlangsung terus-menerus secara real time.

Pada titik inilah energi terbarukan menemui kelemahannya, sehingga membuatnya berposisi sebagai pelengkap energi fosil. Energi berbasis dari sumber alam ini terkendala persoalan intermitensi (produksi naik turun mengikuti kondisi alam). Problem ini terutama dialami oleh energi surya dan angin, yang merupakan dua sumber energi terbarukan paling murah.

qSumber: BNEF

Bayangkan jika PLN memakai 100% energi listrik dari panel surya. Ketika cuaca mendung, maka kemampuan produksi listrik, sebagaimana temuan CleanTechnia, akan turun drastis hingga menjadi seperempat dari biasanya.

Jika itu terjadi, maka 3/4 pasokan listrik hilang. Maka terjadilah pemadaman berjamaah. Tidak usah dibayangkan bagaimana PLN memasok listrk pada malam hari ketika solar panel berhenti produksi. Demikian juga dengan pembangkit listrik dari bayu yang akan kehilanngan produksi ketika angin berhenti bertiup.

Oleh karenanya, kedua sumber energi terbarukan tersebut memerlukan baterai. Jika bicara baterai, maka kita akan bicara soal eksploitasi mineral dalam skala besar, yang memiliki dampak negatif secara ekologis, dan memiliki jejak karbon yang besar.

Ongkos memproduksi perangkat energi terbarukan memang kian murah, tetapi ongkos produksi baterai masih lebih mahal jika dibandingkan dengan ongkos produksi listrik dari fosil.

Mari kita ambil contoh Tesla yang memiliki pabrik baterai listrik yang terbesar di dunia, yang berlokasi di Nevada. Pada 2018, perseroan mencapai kapasitas produksi tahunan baterai setara dengan 20 gigawatthour (Gwh). Besar bukan?

Namun harap diingat, angka itu hanya setara dengan 6 menit permintaan listrik AS setahun. Menurut Energy Information Administration dalam laporan berjudul "Electric Power Annual 2018", konsumsi listrik AS pada 2020 mencapai 4.222,5 terawatthour (TWh), atau 4,2 juta Gwh.

Dus, Tesla bakal perlu mendongkrak kapasitas produksinya 210.000 kali dari yang di Nevada, jika ingin memproduksi baterai yang cukup untuk memasok kebutuhan listrik AS, bersumber dari energi surya dan angin, mengenyahkan energi fosil. Dengan kapasitas sekarang, bakal perlu 210.000 tahun untuk mewujudkan itu.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular