
Gegara Corona, Singapura Tak Lagi Jadi Kota Termahal di Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Singapura dan Osaka tak lagi menyandang predikat kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Posisinya kini turun dan digantikan oleh Zurich dan Paris yang naik empat peringkat, sedangkan Hong Kong masih tetap bertengger di peringkat pertama.
Survei terbaru The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengukur biaya hidup di 133 kota di dunia menunjukkan adanya pergeseran peringkat. 10 kota dengan biaya hidup termahal di dunia berasal dari benua Amerika (2 kota), Asia (4 kota) dan Eropa (4 kota).
Dari 10 kota termahal tersebut ada lima kota yang mengalami kenaikan peringkat yaitu Zurich, Paris, Tel Aviv, Jenewa dan Copenhagen. Empat kota yang mengalami penurunan yaitu Singapura, Osaka, New York dan Los Angeles.
Harga-harga di Singapura dan Osaka terus mengalami penurunan seiring dengan merebaknya pandemi yang memicu resesi ekonomi dan deflasi. Exodus pekerja asing dari Singapura membuat permintaan menurun, sementara Jepang masih berkutat dengan masalah kronisnya sejak tahun 1990-an, yaitu downward spiral of deflation.
Peningkatan harga di Benua Eropa salah satunya dipicu oleh kecenderungan apresiasi mata uang Euro terhadap greenback. Secara year to date Euro bergerak menjauhi dolar AS dengan apresiasi sebesar 5,78%. Sementara di saat yang sama indeks dolar slip 4%.
Secara keseluruhan kenaikan harga dan biaya dalam unit dolar AS terjadi di Tehran Iran karena adanya sanksi ekonomi dari AS yang membuat terganggunya pasokan barang ke negara tersebut.
Meskipun mengalami kenaikan sampai 30 peringkat dari 106 ke 79 tetapi harga-harga barang di Tehran masih jauh lebih murah dibanding 10 kota dengan biaya hidup termahal versi EIU.
Penurunan harga paling parah terjadi di Brazil yaitu di kota Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Penurunan harga ini dipicu oleh anjloknya mata uang Brazil dan kenaikan angka kemiskinan di negara tersebut.
Mata uang Brazil telah terdevaluasi hingga 33,44% sepanjang tahun ini dan angka kemiskinan di negara Amerika Latin itu diproyeksi akan bertambah jutaan orang. Resesi ekonomi akibat Covid-19 membuat harga-harga menurun seiring dengan lemahnya daya beli masyarakat.
