Kecanduan Impor LPG, DPR Sebut Ini Fakta Dilematis RI

Rahajeng Kusumo, CNBC Indonesia
18 November 2020 12:38
Pekerja mengangkat gas Elpiji di agen gas dan kemasan minuman di kawasan Gondangdia, Jakarta, Rabu, (4/3). Pemerintah berencana melakukan impor LPG dari Aljazair, tepatnya dari perusahaan migas nasional Sonatrach. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) RI terus melesat seiring dengan meningkatnya permintaan di dalam negeri. Berdasarkan riset tim CNBC Indonesia, impor LPG melesat 19,52% per tahun (CAGR) dari 960 ribu ton pada 2009 menjadi 5,71 juta ton pada 2019.

Pada tahun ini impor LPG bahkan diperkirakan naik menjadi 6,84 juta ton, dan akan terus meningkat menjadi 10,01 juta ton pada 2024.

Terus meningkatnya angka impor LPG ini tak ayal bila disebut Indonesia kecanduan impor LPG. Hal tersebut pun diakui oleh Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto, saat diwawancarai CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2020).

"Dalam konteks kecanduan impor (LPG) ini fakta yang dilematis di Indonesia. Sampai 1970-an Indonesia mengekspor gas, tapi ironinya kita tidak membangun infrastruktur yang komprehensif, baik itu transmisi, jaringan induk pengolahan gas, dan seterusnya," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2020).

Meski kini mayoritas gas yang diproduksi dari dalam negeri dijual untuk kepentingan domestik yakni mencapai 60%, namun menurutnya karena infrastruktur belum siap, terutama karena permintaan terus meningkat, gas bumi belum bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk keperluan domestik. Bila infrastruktur gas siap, maka menurutnya ini bisa dimanfaatkan untuk menggantikan konsumsi LPG.

Jumlah subsidi LPG yang juga terus meningkat tiap tahun dikhawatirkan akan semakin membebani negara. Berdasarkan riset CNBC Indonesia, mengambil data dari Kementerian Keuangan dan ESDM, subsidi LPG pada 2018 bahkan mencapai Rp 64 triliun, naik dua kali lipat dibandingkan subsidi LPG pada 2012 yang sebesar Rp 32,85 triliun.

Sugeng pun mengakui, idealnya subsidi harus dikurangi.

"Idealnya subsidi harus dikurangi," ujarnya.

Untuk itu, ke depannya, lanjutnya, pemerintah harus memperjelas kebijakan energi nasional. Keterbatasan pasokan migas di dalam negeri seperti BBM maupun LPG sudah menjadi isu selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, pemerintah juga harus membangun infrastruktur, baik kilang BBM, LPG, maupun pipa gas untuk bisa menggantikan konsumsi LPG.

"Kalau infrastruktur lemah, gak optimal juga jadinya," ujarnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.16 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM tahun 2020-2024, impor LPG pada 2024 diperkirakan naik menjadi 10,01 juta ton dari 6,84 juta ton pada 2020 ini. Sementara kebutuhan LPG domestik pada 2024 tersebut diperkirakan naik menjadi 11,98 juta ton dari 8,81 juta ton pada 2020 ini. Sedangkan produksi LPG diperkirakan stagnan di level 1,97 juta ton per tahun.

Peraturan Menteri ESDM tersebut ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 September 2020 dan berlaku sejak diundangkan pada 25 September 2020.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gawat! Perintah Jokowi Tak Jalan, Impor LPG 2024 Bisa Melesat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular