
UU Ciptaker Dinilai Membingungkan Investor Migas

Jakarta, CNBC Indonesia - Undang Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan digadang-gadang bisa meningkatkan iklim investasi di semua sektor industri.
Namun sayangnya, UU Cipta Kerja ini malah dinilai membingungkan bagi pelaku usaha di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Hal itu disebutkan Tim Regulasi Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Indonesian Petroleum Association/ IPA), Ali Nasir. Menurutnya, alih-alih membuat investor semakin tertarik berinvestasi di Tanah Air, UU Cipta Kerja ini malah membuat investor bingung.
Padahal, lanjutnya, UU Cipta Kerja seharusnya memberikan kepastian hukum, sehingga diharapkan bisa meningkatkan iklim investasi di sektor ini. Apalagi, imbuhnya, permasalahan utama di industri ini yaitu investasi.
"Kita melihat UU Cipta Kerja dalam sejarah Indonesia luar biasa, ini pertama kali kita punya UU dengan banyak halaman. Luar biasa, jadi tidak heran terjadi kekacauan dan ketidaksinkronan di UU Cipta Kerja ini," ungkapnya dalam 'Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue', Jumat (13/11/2020).
Dia mengatakan, UU Cipta Kerja yang diharapkan mengatur hal substansial seperti kepastian status kelembagaan pengatur hulu migas seperti SKK Migas, namun pada akhirnya malah dihapus dan bakal dialihkan ke Revisi UU No.22 tahun 2001 tentang Migas. Pada mulanya, Rancangan UU Cipta Kerja akan mengatur BUMN Khusus Migas, tapi akhirnya dihapus.
"UU Cipta Kerja yang diharapkan untuk mendorong investasi migas ternyata tidak melakukan banyak hal, tidak ada perubahan substansial, tidak ada perubahan kelembagaan seperti yang diamanatkan MK, jutsru ada beberapa perubahan yang membingungkan," paparnya.
Menurutnya, ada yang membingungkan di Pasal 5 dan 6 UU Cipta Kerja. Pasal 5 angka 1 berbunyi "Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."
Lalu, Pasal 6 berbunyi "Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19."
"Tidak ada spesifik kegiatan usaha hulu di Pasal 5 ayat 1, jadi bagaimana mengimplementasikan pasal 6 nanti, ini persoalan juga akibat keterburuan dalam penyusunan ini," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, berbicara mengenai regulasi migas tidak bisa lepas dari UU Migas. Menurutnya beberapa pihak kurang senang dengan UU Migas ini, sehingga diuji berkali-kali.
Mahkamah Konstitusi, imbuhnya, menyatakan penguasaan negara dalam industri migas yang paling tepat berupa pengelolaan langsung melalui BUMN. Artinya, kalau diartikan lagi secara gamblang, maka BUMN yang mengelola migas ini akan berkontrak dengan beberapa perusahaan.
"Secara personal, saya melihat ada kelemahan dari putusan MK yang salah satunya bilang dengan (menyarankan) pola kontrak dengan kontraktor (Business to Business). Pemerintah akan leluasa memberikan kebijakan publik pengelolaan migas tanpa harus khawatir digugat investor asing. Ini tidak benar, saya pernah buktikan dengan kontrak B to B, kita menghadapi gugatan bertubi-tubi," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan Turunan UU Cipta Kerja Kelar, Ini Daftar Lengkapnya
