
Pak Jokowi, Ini Cara agar RI Keluar dari Resesi Ekonomi

Jakarta, CNBC Indoensia - Untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang kolaps akibat merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pemerintah perlu lebih agresif lagi dalam menggenjot stimulus terutama yang dialokasikan untuk menjaga daya beli masyarakat.
PSBB yang dilakukan untuk menekan penyebaran wabah Covid-19 di dalam negeri telah menimbulkan konsekuensi yang serius bagi perekonomian. Pada kuartal kedua tahun 2020 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi 5,32% (yoy). Kontraksi berlanjut ke kuartal ketiga di angka minus 3,49% (yoy).
Kontraksi dua kuartal beruntun membuat membuat Indonesia sah mengalami resesi yang pertama kalinya sejak krisis moneter tahun 1998. Mandiri Institute memperkirakan akibat penerapan PSBB hilangnya pendapatan masyarakat terutama untuk sektor UMKM sebesar 2,3% - 2,6% PDB.
PSBB juga membuat angka pengangguran di bulan Agustus 2020 bertambah 2,77 juta orang menjadi 9,7 juta orang. Berdasarkan APBN KiTa bulan Juni 2020 angka pengangguran diperkirakan bakal bertambah 2,92 juta - 5,23 juta orang.
Selain pengangguran angka kemiskinan di Tanah Air juga diperkirakan meledak dan bertambah 1,89 juta - 4,86 juta orang.
Pemerintah berupaya untuk menahan perekonomian RI dari kejatuhan yang lebih dalam dengan menggelontorkan stimulus fiskal. Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) disiapkan sebesar Rp 677,2 triliun atau sebesar 4,4% dari PDB Indonesia.
Sebesar Rp 203,9 triliun anggaran disiapkan untuk memberikan bantuan sosial bagi rumah tangga melalui berbagai program seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan langsung tunai, bantuan sembako, subsidi listrik hingga kartu prakerja.
Nominal Rp 203,9 triliun untuk bantuan perlindungan sosial tersebut masih terbilang terlalu kecil untuk kue ekonomi Indonesia yang 56%-nya ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
Kalau stimulus tersebut dibandingkan dengan dana PEN maka hanya sebesar 30,1% saja. Apabila dibandingkan dengan PDB dari konsumsi rumah tangga masyarakat RI hanya sebesar 2,27%. Jika dibandingkan dengan total PDB Indonesia porsinya hanya 1,3% saja.
Pemerintah memang mengalokasikan stimulus tersebut untuk keluarga miskin dan yang rentan miskin. Namun besaran dan skema bantuan sosial tersebut belum mencakup seluruh masyarakat yang rentan rentan miskin.
Berdasarkan estimasi Mandiri Institute pada bulan Juli, masih ada 12 juta rumah tangga yang belum tersentuh oleh bantuan sosial tersebut. Jika 12 juta rumah tangga ini diberikan bantuan sosial tunai senilai Rp 600/bulan per keluarga selama enam bulan maka total anggaran yang harus ditambahkan mencapai Rp 43,26 triliun.
Selain masalah besaran dari bantuan sosial yang diberikan, masalah seputar realisasi anggaran juga bisa dibilang kurang agresif di awal-awal. Sampai bulan Juli, realisasi penyaluran anggaran bantuan masih sebesar 28,6% saja.
Penyaluran bantuan sosial baru mulai agresif setelah menuai beberapa kritikan. Berdasarkan laporan APBN KiTa Oktober 2020, sampai dengan September 2020 tingkat penyaluran bantuan sosial sudah mencapai 91%.
Namun dengan besaran dan realisasi bantuan sosial tersebut masih belum mampu mengerek konsumsi masyarakat. Hal ini tercermin dari pos konsumsi rumah tangga yang masih terkontraksi 4,04% (yoy) pada kuartal ketiga.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya membaik 148 basis poin (bps) saja dari kontraksi di kuartal kedua sebesar minus 5,52% (yoy).