Sepi Abis! Penjualan Rumah Makin Lambat

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 November 2020 12:57
Foto udara pembangunan perumahan di kasawan bojong sari, Depok, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Foto udara pembangunan perumahan di kasawan bojong sari, Depok, Jawa Barat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kontraksi perekonomian Tanah Air akibat merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) membuat penjualan properti residensial mengalami perlambatan pertumbuhan. Tren ini diperkirakan masih akan berlanjut hingga kuartal terakhir tahun ini. 

Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan penjualan properti hanya tumbuh 1,51% (year on year/yoy) pada periode Juli-September (kuartal III-2020). Pertumbuhannya melambat dari kuartal kedua tahun ini yang tercatat mencapai 1,59% (yoy). 

Rumah tipe besar menjadi segmen yang mengalami perlambatan pertumbuhan paling kentara. Sementara untuk rumah tipe kecil dan menengah pertumbuhan harganya masih di atas rata-rata pertumbuhan total. 

Dalam lima tahun terakhir tren pertumbuhan harga properti di dalam negeri terus mengalami penurunan seiring dengan stagnasi pertumbuhan ekonomi serta kontraksi yang terjadi di tahun 2020. 

Pertumbuhan harga rumah untuk semua tipe diperkirakan masih akan melambat hingga kuartal empat tahun ini. Tren pada kuartal ketiga juga diproyeksikan berlanjut dengan rumah tipe besar mengalami pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan dengan yang lain.

Dari sisi volume, penjualan properti residensial pada kuartal III-2020 masih menurun. Hal ini tercermin dari penjualan properti residensial yang terkontraksi 30,93% (yoy), dibandingkan kontraksi pada kuartal sebelumnya sebesar 25,60% (yoy). Penurunan penjualan properti residensial ini terjadi pada seluruh tipe rumah.

Dalam survei tersebut BI mencatat ada lima alasan utama mengapa penjualan rumah masih susah untuk terdongkrak di tahun ini. Sebanyak 21,78% jawaban responden menunjukkan bahwa faktor pandemi Covid-19 dan PSBB jadi pemicunya.

Ekonomi Indonesia yang jatuh ke jurang resesi pertama kalinya sejak 1999 membuat daya beli masyarakat menjadi tergerus sehingga konsumen cenderung menahan diri untuk membelanjakan uangnya dan cenderung menabung. 

Alokasi dana untuk konsumsi yang non-esensial juga dipangkas dan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan hingga kebutuhan medis penunjang kesehatan di masa wabah terutama untuk kelas menengah ke bawah.

Ini yang menjadi faktor minat beli rumah masyarakat dalam negeri masih rendah. Faktor selain Covid-19 dan PSBB yang juga menghambat kenaikan penjualan adalah suku bunga KPR bank. 

Meskipun suku bunga KPR bank sudah turun 49 basis poin sepanjang tahun ini menjadi 8,63%, responden menilai suku bunga tersebut masih terlalu tinggi dan memberatkan kantong konsumen terutama untuk rumah tipe kecil dan menengah.

Penurunan suku bunga KPR juga terlihat cenderung belum seagresif penurunan suku bunga acuan. Di tahun ini saja BI sudah memangkas BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 100 basis poin (bps) dari 5% menjadi 4%. 

 

Suku bunga yang dinilai tinggi memang jadi penghambat naiknya permintaan. Maklum KPR masih menjadi sumber utama pembiayaan konsumen membeli properti residensial. Pada periode Juli-September lalu, sebanyak 76% responden menggunakan kredit jenis ini untuk membeli rumah. 

Sepinya minat beli konsumen juga terlihat dari perlambatan penyaluran kredit KPR oleh perbankan. Pada kuartal ketiga penyaluran KPR oleh perbankan tumbuh minimalis hanya 2,05% (yoy). Itupun melambat dari kuartal kedua yang tumbuh 3,5% (yoy).

Apabila ditinjau secara kuartalan pertumbuhan penyaluran kredit KPR pada kuartal III tercatat tumbuh minimalis juga sebesar 0,62% (qoq). Namun lebih baik ketimbang pada kuartal kedua yang justru mengalami kontraksi sebesar 0,11% (qoq).

Tidak ingin terus-terusan mengalami perlambatan, pemerintah pun turun tangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya memberikan injeksi likuiditas ke perbankan Himbara terutama kepada PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) senilai Rp 35 triliun yang memiliki core business di sektor perumahan agar bisa lebih agresif dalam menyalurkan kredit. 

Selain persoalan suku bunga, masih ada beberapa faktor lain yang mengganjal peningkatan permintaan rumah. Faktor-faktor tersebut adalah masih tingginya proporsi uang muka dalam pengajuan KPR, masalah perizinan dan birokrasi hingga harga material bangunan yang mengalami kenaikan. 

Well, jika melihat faktor-faktor di atas setidaknya pertumbuhan penjualan rumah bakal terdongkrak bila mobilitas masyarakat semakin membaik seiring dengan meredanya Covid-19 dan juga penurunan lebih lanjut suku bunga KPR yang selalu jadi alasan yang mempengaruhi demand properti nasional.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular