Internasional

Trump vs Biden Makin Sengit! Kapan Hasilnya Keluar?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 November 2020 18:12
Debat Calon Presiden AS antara Donald Trump dari Partai Republik dan lawannya Joe Biden dari Partai Demokrat.
Foto: Debat Calon Presiden AS antara Donald Trump dari Partai Republik dan lawannya Joe Biden dari Partai Demokrat. (Jim Bourg/Pool via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penghitungan suara pemilihan umum (pemilu) presiden AS kini sedang berlangsung. Untuk sementara waktu, kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden masih diunggulkan berdasarkan suara populer maupun elektoral.

Melansir Associated Press (AP), Joe Biden saat ini unggul dengan suara populer sebanyak 68,1 juta dan suara elektoral sebanyak 238. Rivalnya Donald Trump hanya berhasil meraup suara populer sebesar 66 juta suara dan suara elektoral sebanyak 213 suara.

Ada dua angka yang disebut di sini. Suara berdasarkan voting populer dan elektoral. Lantas apa perbedaannya? Apa pengaruhnya terhadap keberlangsungan pemilu di AS?

Perlu diingat, sistem pemilu AS bukanlah seperti yang ada di Indonesia yang berbasis pada prinsip one man one vote. Sistem one man one vote membuat setiap suara yang diberikan dihitung.

Misal dalam sebuah pemilihan umum di wilayah yang menganut sistem suara mayoritas ada dua kandidat yang sedang bertanding merebutkan jabatan eksekutif. Sebut saja A dan B. Jika 51% warga wilayah tersebut memilih A, maka A akan didapuk sebagai pimpinan eksekutif di wilayah tersebut.

Di AS tidak demikian karena menggunakan sistem yang dikenal dengan nama electoral college. Saat pemilu, warga AS tak langsung memilih presiden melainkan memilih para elektor yang nantinya bakal memilih presiden.

Elektor ini adalah orang-orang yang diutus partai dalam kasus AS ada Partai Demokrat dan Partai Republik. Elektor akan berjumlah sama dengan anggota kongres yaitu 538. Sebanyak 438 mencerminkan jumlah anggota majelis rendah atau House of Representative (House) dan sisanya mencerminkan jumlah anggota senat.

Ada 50 negara bagian di AS yang jumlah penduduknya tidak sama dan tidak tersebar secara merata. Oleh karena itu ada semacam kuota atau jatah elektor di masing-masing negara bagian.

Banyak atau sedikitnya elektor ini disesuaikan dengan ukuran populasi di setiap negara bagian. Misal California yang penduduknya paling padat mendapat jatah elektor terbesar sebanyak 55 elektor disusul Texas sebanyak 38 elektor.

Sistem pemilu AS juga menggunakan pendekatan winner takes all. Artinya, apabila salah satu partai memenangkan suara sebesar 51% maka suara partai lain akan diklaim sebagai suara partai yang menang secara keseluruhan.

Ilustrasi sederhananya begini, untuk kasus AS California memiliki total penduduk sebanyak 41 juta jiwa. Jatah elektor untuk negara bagian ini ada 55 orang. Dalam pemilu kali ini ada 18 juta orang yang berpartisipasi.

Sebanyak 52% warga California yang ikut pemilu memilih Biden dan sisanya memilih Trump. Nah, yang dihitung untuk kalkulasi penentuan pemenang di negara bagian ini bukanlah suara 9,18 juta masyarakat tadi melainkan suara elektoral lah yang dihitung.

Di sini berarti Biden telah mengamankan 55 suara atau setara dengan 20% dari targetnya untuk menang meraup suara elektor sebanyak 270. Rumit kan? Ya sistem pemilu di AS memang lebih kompleks dari yang ada di Indonesia.

Kontestasi politik semakin dinamis dan tak mudah diprediksi karena ada negara bagian yang tidak secara konsisten berpihak pada salah satu partai. Negara-negara bagian ini disebut swing state dan menjadi sasaran kampanye para kandidat karena di sinilah lokasi perang sesungguhnya terjadi (battleground).

Untuk tahun 2020, setidaknya ada 14 negara bagian yang menyumbang 30% suara pemilu yang termasuk ke dalam kategori swing state. Sembilan negara bagian tersebut saat ini masih dalam cengkeraman Trump sementara sisanya berada di tangan Biden.

Trump untuk sementara menguasai Pennsylvania dan Wisconsin dengan perolehan suara populer masing-masing sebanyak 57% dan 52%. Namun belum semua suara terhitung.

Pada Rabu (4/11/2020) pukul 17.17 WIB, total suara terhitung baru 64%. Artinya masih ada kemungkinan untuk berbalik dan Biden yang berhasil mengamankan suara elektor sebanyak 30 suara dari dua negara bagian itu.

Sementara untuk negara bagian Arizona, Trump justru kecolongan. Dengan total 80% suara sudah terhitung Biden unggul dengan 51% suara. Jika mengacu pada data historis pemilu sejak 1972-2016 negara bagian ini cenderung condong ke Republik.

Ini salah satu bentuk kemunduran bagi Trump. Jika berhasil mempertahankan sampai penghitungan selesai Biden akan mendapatkan suara elektor sebanyak 11 suara.

Negara bagian lain yang tergolong swing state masih abu-abu ada Georgia, Pennsylvania, Wisconsin, Michigan dan North Carolina. Secara rata-rata suara terkumpul di negara-negara bagian swing state sudah mencapai angka 85%. Namun tetap penghitungan belum benar-benar selesai.

Dalam kondisi normal hasil pemilu bisa langsung diketahui pagi harinya. Namun untuk tahun ini proses penghitungan suara bakal memakan waktu yang lebih lama bisa berhari-hari bahkan sampai hitungan minggu.

Akibat pandemi Covid-19 sistem voting tahun ini agak berbeda, ada yang datang langsung ke tempat pemungutan suara ada yang melalui pos. Keputusan ada di negara bagian masing-masing. Inilah yang membuat proses penghitungan harus menunggu waktu lebih lama.

Di saat penghitungan masih berlangsung, setiap kandidat justru membuat pernyataan yang cenderung mengarah pada klaim kemenangan. Mantan wakil presiden era Obama, Biden mengklaim bahwa dirinya on track di jalur kemenangan.

Lucunya lagi, Trump bahkan mengklaim kemenangannya di pilpres kali ini. Jelas klaim tersebut tidak berdasar. Klaim baru bisa dilakukan jika hasil resmi sudah keluar. Untuk tahun ini, diperkirakan bakal ada 150 juta warga AS yang menjadi pemilih atau dengan tingkat partisipasi sekitar 65%.

Tingkat partisipasi ini tergolong tinggi mengingat pada pemilu sebelum-sebelumnya tingkat partisipasinya mentok di 61% hingga 62%. Siapa saja bisa mengklaim menjadi pemenang. Namun hasil akhir nantilah yang akan menentukan.

Trump yang semakin sengit memepet Biden mulai mendapat sorotan dari banyak pihak. Publik mulai bertanya apakah kondisi 2016 akan berulang lagi? Sebagai informasi saat pemilu 2016 Hillary Clinton dari Partai Demokrat diunggulkan dalam voting populer dengan margin sampai 500 ribu suara.

Namun dalam perolehan suara elektoral Trump menang karena berhasil meraup 306 suara sementara Clinton hanya mendapat 232 suara elektoral. Sistem electoral college memang memungkinkan hal itu terjadi.

Sejak konstitusi soal sistem pemilu ini ditetapkan, tercatat ada tiga kali pemilu yang hasilnya serupa. Menang di voting populer tetapi kalah di perolehan suara elektoral. Pertama dilaporkan di tahun 1888 antara Grover Cleveland dengan Benjamin Harrison.

Lalu pada tahun 2000 saat George W Bush dan Al Gore melakukan kontestasi. Terakhir adalah tahun 2016 ketika Trump melawan Clinton.

Bagaimanapun juga sistem electoral college memang rumit dan membuat hasil pemilu jadi susah untuk diprediksi, apalagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini ketika teknis pelaksanaan pun berbeda.

Banyak pihak yang menyoroti sistem warisan nenek moyang AS ini tidak benar-benar mencerminkan demokrasi dan perlu diubah.

Awal mula sistem electoral college dibentuk adalah untuk mengakomodasi kepentingan negara bagian yang populasinya banyak dan sedikit, untuk mengatasi masalah luasnya wilayah AS hingga distribusi informasi yang tidak merata.

Namun dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih dan arus informasi yang deras membuat sistem ini dirasa tak lagi relevan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular