
RI Tak Lagi Deflasi, Apakah Daya Beli Sudah Kembali? Belum!

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah tiga bulan beruntun terjadi deflasi, akhirnya Indonesia mampu mencatatkan inflasi pada Oktober 2020. Namun bukan berarti daya beli rakyat sudah pulih, karena inflasi inti masih sangat rendah.
Pada Senin (2/11/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi inflasi 0,07% pada Oktober 2020 dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Ini menjadi inflasi bulanan pertama dalam tiga bulan terakhir.
Sementara inflasi tahun kalender masih di bawah 1%, tepatnya 0,95%. Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) tercatat 1,44%.
"Sesudah tiga bulan berturut-turut deflasi, pada Oktober ini kita mengalami inflasi tipis. Inflasi umum 1,44% YoY, sedikit meningkat dibandingkan September yang 1,42% YoY. Kalau dibandingkan Oktober 2019, inflasi yang 1,44% ini tergolong sangat rendah," kata Suhariyanto, Kepala BPS.
Selain itu, Suhariyanto menggarisbawahi inflasi inti yang juga masih rendah. Pada Oktober 2020, inflasi inti tercatat 1,74% YoY. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,86% YoY, apalagi ketimbang Oktober 2019 yang lebih dari 3% YoY.
Inflasi inti kerap dijadikan indikator kekuatan daya beli. Sebab, inflasi inti berisi barang dan jasa yang harganya susah naik-turun atau persisten. Kalau harga barang dan jasa seperti ini sampai turun, maka tandanya permintaan alias daya beli masih sangat lemah.
Salah satu indikator yang mendukung masih lesunya daya beli adalah aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI). Pada Oktober 2020, skor PMI manufaktur Indonesia adalah 47,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 47,2.
Namun, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 50,berarti dunia usaha masih belum melakukan ekspansi.
"Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada pertengahan Oktober hanya sedikit mendorong aktivitas manufaktur. Volume produksi masih menurun, demikian pula pemesanan baru. Permintaan eksternal (ekspor) juga melemah, bahkan cukup dalam. Dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih membebani gerak ekonomi secara keseluruhan," sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Akibat penurunan penjualan, perusahaan mengalami kelebihan kapasitas. Untuk mengendalikan biaya, pengurangan tenaga kerja masih terus dilakukan bahkan dalam laju yang lebih cepat.
"Penggunaan tenaga kerja turun selama delapan bulan beruntun, dan laju pengurangan pegawai di beberapa perusahaan bahkan semakin cepat. Tidak hanya itu, perusahaan bahkan terpaksa menurunkan harga untuk merangsang permintaan," lanjut keterangan HIS Markit.
Dengan situasi yang masih sangat tidak pasti karena tsunami Pemutusan Hubunga Kerja (PHK) yang belum selesai, sangat wajar konsumen menurunkan, menunda, atau bahkan membatalkan konsumsi. Sepanjang pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu belum kelar, maka situasi masih akan seperti ini.
Oleh karena itu, kehadiran vaksin anti-virus corona sangat dinanti. Saat setidaknya 60-70% populasi Indonesia sudah mendapat vaksinasi, maka kekebalan massal (herd immunity) akan tercipta. Baru ketika ini terjadi aktivitas masyarakat bisa kembali normal dan ekonomi bergerak kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Berkat New Normal, Ekonomi RI di Jalur Kebangkitan