Bikin Murka, UMP 2021 Tak Naik 'Pil Pahit' Buat Buruh

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 October 2020 13:45
Demo Buruh Tolak Omnibus Law
Foto: Demo Buruh Tolak Omnibus Law (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama aksi demonstrasi rusuh di berbagai wilayah di Tanah Air terjadi menolak Omnibus Law Cipta Kerja, kini buruh kembali menjadi sorotan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah merilis surat edaran ke para gubernur soal tak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2021 membuat kalangan buruh murka. 

Kalangan buruh menilai kebijakan tersebut terlalu pro pada pengusaha pemilik modal tanpa melihat kondisi para pekerja yang kini mengenaskan akibat adanya pandemi. Buruh pun mengecam dan akan melakukan demo besar-besaran untuk menuntut apa yang mereka sebut sebagai keadilan. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun angkat bicara terkait keputusan ini. Menurutnya menteri tenaga kerja tidak punya sensitivitas terhadap nasib buruh dan hanya mementingkan nasib pengusaha saja. 

KSPI dan seluruh serikat buruh di Indonesia disebut akan melakukan aksi nasional besar-besaran di 24 propinsi pada 2 Nopember dan 9 sampai 10 Nopember yang diikuti puluhan dan bahkan ratusan ribu buruh di Mahkamah Konstitusi, Istana, DPR RI, dan di kantor Gubernur di seluruh Indonesia.

Isu yang akan diangkat ada dua yaitu memaksa pemerintah untuk membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja dan harus ada kenaikan upah minimum 2021 untuk menjaga daya beli masyarakat.

UMP setiap provinsi tentu berbeda-beda. Pada 2020 kenaikan UMP ditetapkan sebesar 8,51%. Angka tersebut ditetapkan berdasarkan formula pertambahan dari pertumbuhan ekonomi dengan inflasi. 

Saat ini UU Cipta Kerja memang sudah disahkan oleh DPR pada sidang paripurna 5 Oktober lalu. Namun ada periode transisi selama tiga bulan yang harus dimanfaatkan pemerintah untuk mendetilkan aturan tersebut melalui Peraturan Pemerintah (PP). 

Selama tiga bulan ini artinya aturan yang berlaku adalah aturan yang masih lama. Apabila mengacu pada aturan perumusan kenaikan UMP yang lama berdasarkan PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan pada dasarnya tidak adanya kenaikan UMP memang wajar.

Pasalnya tahun ini perekonomian Indonesia diperkirakan mengalami kontraksi. Menggunakan asumsi perkiraan Bank Dunia, pertumbuhan PDB RI tahun ini diramal terkontraksi minus 1,5%. Inflasi yang rendah di kisaran 1,5%-2% membuat kenaikan UMP pada akhirnya hanya akan berada di angka 0% sampai 0,5%, setelah diakumulasi antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. 

Itu berarti patokan UMP tahun depan akan sama dengan tahun ini. UMP tertinggi masih tetap berada di DKI Jakarta sebesar Rp 4,3 juta per bulan dan yang terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya sebesar Rp 1,7 juta/bulan.

Sebelumnya buruh meminta agar kenaikan UMP tahun depan berada di angka 8%, atau sama dengan tahun ini. Melihat kondisi ekonomi yang menderita saat ini kenaikan UMP 8% memang sangat tinggi. 

Di satu sisi, kenaikan upah diharapkan dapat mendongkrak daya beli dan menggenjot perekonomian Indonesia yang berbasis pada konsumsi. Namun di sisi lain kenaikan yang sangat tinggi dan tidak proporsional justru akan menjadi malapetaka bagi perekonomian.  

Tingginya kenaikan upah juga bakal menimbulkan kemudharatan jika tidak dibarengi dengan perbaikan produktivitas. Di sisi lain upah yang terlalu tinggi juga akan membuat para pengusaha tertekan keuangannya. 

Untuk menjaga margin laba para pengusaha bisa melakukan efisiensi di berbagai pos beban biaya, salah satunya adalah mengurangi beban biaya di pos karyawan. Untuk menghemat belanja, perusahaan bisa saja memotong gaji, menurunkan jam kerja hingga yang paling ekstrem dengan memberhentikan karyawan (PHK).

Ongkos PHK tidak murah. Pesangon yang harus diberikan pengusaha kepada karyawannya yang terkena PHK beragam, tetapi bisa mencapai 32 kali gaji tergantung pada masa baktinya juga.

Namun ongkos PHK yang tinggi ini juga berpotensi membuat perusahaan menyelewengkan kewajibannya dan pada akhirnya merugikan kalangan buruh sendiri. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengusaha dan pemilik modal adalah pihak yang mampu menciptakan lapangan kerja. Apabila kondisi keuangan mereka tertekan dan tidak bisa berekspansi maka dari mana lapangan kerja tercipta?

Setiap tahunnya ada kurang lebih 2 juta angkatan kerja baru. Sementara yang terserap hanya setengahnya atau bahkan kurang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) saat ini masih di kisaran 5%. 

Di masa pandemi Covid-19 ini, Bappenas memproyeksikan jumlah pengangguran bisa mencapai angka 11 juta orang akibat banyaknya perusahaan yang tak bisa bertahan di tengah gempuran krisis kesehatan ini dan banyaknya PHK.

Untuk itu fokus utama kebijakan saat ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja terlebih dahulu agar angka pengangguran dan kemiskinan bisa ditekan. Untuk mewujudkannya mustahil bisa dilakukan dengan kenaikan upah/UMP yang terlalu tinggi di masa-masa semua pihak mengalami kesusahan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular