Jakarta, CNBC Indonesia - Gejolak harga komoditas pangan strategis seringkali membuat tekanan inflasi juga ikut berfluktuasi. Seperti halnya dijumpai pada kuartal ketiga tahun ini, ketika harga pangan mengalami penurunan deflasi pun terjadi tiga bulan secara beruntun sejak Juli-September 2020.
Usai terjadi deflasi beruntun, Bank Indonesia (BI) memperkirakan harga komoditas pangan mulai merangkak naik di bulan Oktober ini yang bisa memicu inflasi. Dalam survei pemantauan harga (SPH) minggu keempat bulan ini beberapa komoditas yang diramal mengalami kenaikan harga adalah cabai merah, bawang merah, minyak goreng hingga ayam.
Otoritas moneter nasional memproyeksikan inflasi sebesar 0,09% (month on month/mom) pada bulan Oktober. Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi Oktober 2020 secara tahun kalender sebesar 0,97% (ytd), dan secara tahunan sebesar 1,46% (yoy).
Penyumbang utama inflasi pada periode laporan berasal dari komoditas cabai merah sebesar 0,09% (mom), bawang merah sebesar 0,03% (mom). Di berbagai pasar tradisional Tanah Air, harga cabai merah dan bawang merah memang melonjak tinggi dalam sebulan terakhir.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional menunjukkan harga untuk cabai merah besar sebulan lalu masih berada di kisaran Rp 36.000/kg. Namun pada pekan lalu harga melesat ke atas Rp 40.000/kg.
Nasib sama juga dialami oleh komoditas cabai merah keriting yang kini harganya sudah menyentuh Rp 40.000/Kg. Padahal tepat sebulan lalu harga cabai merah keriting di pasaran masih ada di Rp 32.000/Kg.
Selain cabai merah, komoditas bawang merah juga mengalami lonjakan harga. Dalam sebulan terakhir harga bawang merah melompat dari kisaran Rp 31.000/kg di berbagai pasar tradisional kini telah mendekati Rp 35.000/kg.
Pada periode 22 September - 23 Oktober, harga ketiga komoditas pangan strategis tersebut telah meningkat sebesar dobel digit persentase. Harga bawang merah naik 13%, harga cabai merah besar melonjak 14% dan harga cabai merah keriting memimpin kenaikan tertinggi dengan pertambahan nyaris 30%.
Pulau Jawa dan Sumatra masih menjadi sentra produksi berbagai komoditas pangan terutama untuk cabai merah. Sementara untuk bawang merah sentra produksinya juga masih tersentralisasi di Pulau Jawa.
Selain sentra produksi cabai merah dan bawang merah yang tersentralisasi di Indonesia bagian barat, faktor infrastruktur juga menjadi penyebab utama disparitas harga dua komoditas ini antara wilayah sentra produksi dengan wilayah lain terutama untuk Indonesia bagian timur.
Rentang harga cabai merah dan bawang merah di Indonesia bagian timur cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata nasional maupun harga di Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada periode 22 September - 23 Oktober harga tertinggi cabai merah keriting dijumpai di Maluku dan terendah di Jawa Timur. Harga tertinggi dipatok di Rp 70.650/kg sementara terendah di Rp 29.400/kg. Ada selisih sebesar Rp 40.000/Kg antara wilayah sentra produksi dengan Indonesia bagian timur.
Untuk komoditas cabai merah, harga terendah dijumpai di Nusa Tenggara Barat sebesar Rp 31.450/Kg dan tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung dengan harga untuk 1 kg dipatok di Rp 70.000/Kg di rentang tertingginya.
Beralih ke komoditas bawang merah, harga terendah tercatat di sentra produksinya yaitu di Nusa Tenggara Barat sebesar Rp 26.000/Kg dan harga tertinggi dijumpai di Papua yang mencapai Rp 47.500/kg.
Pergerakan harga cabai merah dan bawang merah sangat sensitif terhadap gejolak harga di wilayah sentra produksinya terutama Pulau Jawa. Kenaikan harga terutama di wilayah sentra produksi yang juga mengerek harga di provinsi Tanah Air lainnya lebih diakibatkan oleh faktor iklim bukan lonjakan permintaan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan warning bahwa fenomena iklim La Nina bakal melanda RI mulai bulan Oktober. La Nina merupakan sebuah fenomena perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan lebih tinggi, bahkan bisa 40% dari curah hujan normal.
Konsekuensi curah hujan yang lebat adalah berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. BMKG memprediksi mulai Oktober sampai dengan Desember La Nina akan terjadi di hampir seluruh wilayah Tanah Air. La Nina baru akan mencapai puncaknya Februari nanti.
Berdasarkan penelitian dan kajian Litbang Pertanian menunjukkan bahwa pada musim hujan produksi cabai biasanya selalu rendah karena sebagian besar sawah ditanami padi, dan di lahan kering banyak petani yang enggan menanam cabai karena risiko gagal panen tinggi, biaya produksi tinggi terutama untuk pestisida, dan produktivitas lebih rendah daripada di musim kemarau.
Hujan lebat dan ancaman banjir yang sudah banyak terjadi belakangan ini tentu sangat mempengaruhi produksi komoditas pertanian untuk pangan. Lahan yang terendam banjir berpotensi besar menyebabkan gagal panen atau bahkan membusuknya stok. Ini menjadi penyebab terbangnya harga komoditas terutama cabai dan bawang merah.
Apalagi cabai merah dan bawang merah selama ini dikenal dengan jalur distribusi yang bercabang dan banyak sehingga margin pengangkutan dan perdagangan dua komoditas ini tergolong yang paling besar.
Tingginya margin pengangkutan dan perdagangan yang tinggi mengindikasikan harga di petani dan konsumen akhir memiliki disparitas yang sangat tinggi.
Faktor cuaca memang tidak bisa dikendalikan. Namun aspek-aspek lain seperti pembenahan jalur distribusi dan manajemen stok yang baik masih bisa diupayakan oleh Kementerian Perdagangan di bawah menteri perdagangan (mendag).
Ke depan, faktor selain pembenahan tata niaga komoditas pangan, aspek seperti perluasan lahan panen cabai merah dan bawang merah di luar Jawa perlu dilakukan oleh menteri pertanian (mentan) yang bertanggung jawab dari sisi suplai di hulu.
TIM RISET CNBC INDONESIA