Beda dengan Krisis 98, Covid-19 Bikin Bisnis Berdarah-Darah

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
24 October 2020 15:01
Pekerja mengangkat ikan asin di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (23/10). Memasuki musim penghujan dan isu Badai La Nina menjadi momok yang cukup mengkhawatirkan bagi nelayan. Menurut salah satu nelayan Ros mengatakan nelayan kerap mengalami masalah saat menjaring ikan di musim hujan. "Sulitnya menangkap ikan dan memikirikan kebocoran rumah. Mau menjemur ikan sulit karena cuaca tidak menentu," jelasnya. Seperti diketahui nelayan juga perjuangan melawan kelam wabah pendemi global tersebut, dampak Covid-19 juga mulai merambah pada kehidupan ekonomi masyarakat kecil, yang mengeluhkan perekonomian turun drastis dari waktu normal. Hal sama sangat terasa pada perekonomian nelayan Indonesia. Nelayan terpaksa harus menjual hasil tangkapan kepada masyarakat dengan harga yang sangat murah atau turun lebih dari 50 persen dari harga biasanya. Hal ini terjadi karena banyak pabrik pengolahan yang ditutup demi mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka mencegah penularan Covid-19.  (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Nelayan (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terkena dampak parah pandemi Covid-19. Kondisi ini bahkan lebih parah dari krisis-krisis sebelumnya.

Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara menjelaskan bahwa hal ini berbeda dengan kondisi krisis di tahun 1998.

"Pemerintah perhatiannya besar sekali kepada masyarakat yang bawah dan termasuk kepada yang sektor usaha kecil dalam hal ini adalah UMKM. Karena UMKM berbeda dengan tahun 98. Karena pada waktu 98 itu krisis yang kena duluan adalah korporasi dan perbankannya," ungkap Mirza dalam webinar 'Membaca Peluang Fintech di tengah Pandemi' yang digelar ILUNI UI, Sabtu (24/10/20).

Dikatakan, pada tahun 1997 suku bunganya itu bisa mengalami lonjakan mencapai sekitar 70%. Kemudian kurs dollr juga mengalami perubahan signifikan dari Rp 2.000 menjadi Rp 15.000.

"(Rupiah) di sekitar 77 kali melemah sehingga bank bangkrut, korporasi bangkrut kemudian baru kena kepada kepada masyarakat karena dipecat dan sebagainya," urainya.

Kini yang terjadi justru sebaliknya karena suku bunga relatif stabil di angka 4%. The Fed juga menetapkan suku bunga hanya 0,25%. Bahkan, suku bunga di Eropa dan di Jepang minus.

"Jadi suku bunga rendah sekali, suku bunga Indonesia juga ini salah satu level yang rendah. Kursnya sempat bergejolak tapi sekarang relatif stabil tapi yang kena duluan bukan korporasi. Yang kena duluan adalah yang kecil. Jadi UMKM duluan, mereka yang kena imbasnya," bebernya.

Dia menyebutkan bahwa 40% UMKM berhenti beroperasi dan mayoritas adalah usaha mikro dan supermikro. Dampaknya, dari 2/3 UMKM yang mandek, 52% kehilangan pendapatan hingga di bawah 50%. Bahkan 63% UMKM mengurangi jumlah karyawan.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daya Tahan Koperasi & UKM Menghadapi Pandemi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular