
Ternyata Jepang Sudah Warning Upah RI Bikin Pusing Perusahaan

Jakarta, CNBC Indonesia - Persoalan upah buruh ternyata jadi persoalan terbesar yang menghambat iklim usaha di Indonesia. Hal ini terungkap dari survei organisasi perdagangan luar negeri Jepang atau Japan External Trade Organization (Jetro) tahun 2019 yang dirilis pada Februari 2020 lalu, yang dikutip dari dokumen Apindo, Jumat (16/10).
Dalam hasil survei itu, masalah manajemen perusahaan di Indonesia masih didominasi oleh kenaikan upah pekerja sebesar (84%). Selanjutnya disusul oleh pengadaan bahan baku lokal dan komponen yang sulit (59,4%) dan beban perpajakan (seperti PPh Badan, pajak transfer pricing, dll) (55,9%).
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menempati posisi tertinggi di antara negara responden dalam masalah kenaikan upah pekerja. Negara lain yang punya masalah serupa di bawah Indonesia yakni Kamboja (75,7%) dan Tiongkok (73,7%).
Adapun mengenai masalah pengadaan bahan baku lokal dan komponen yang sulit, Indonesia (59,4%) menempati urutan kelima besar setelah Bangladesh (70,8%), Laos (70,6%), Kamboja (70,3%), dan Myanmar (65,4%).
Dalam masalah beban perpajakan, Indonesia menempati posisi tertinggi di antara negara responden sebesar 55,9%. Selanjutnya disusul oleh Pakistan (46,2%) dan Filipina (43,8%).
Sederet persoalan tersebut berdampak pada rendahnya tingkat kepuasan terhadap upah minimum dibandingkan produktivitas pekerja. Thailand dan Vietnam masing-masing mencapai 80,1 dan 80,0, sedangkan di Indonesia hanya 74,4, yang berada pada urutan ketiga terendah di kawasan ASEAN dalam produktivitas dibandingkan upah.
Dalam hal produktivitas, dari pertanyaan mengenai kelayakan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah di tiap negara dan kawasan, persentase negara yang paling banyak menjawab "layak dan sesuai" adalah Filipina (74,2%), Laos (66,7%), dan Myanmar (60,9%). Negara-negara ini memiliki bisnis yang berkembang di industri pengolahan untuk tujuan ekspor, yang memanfaatkan biaya tenaga kerja yang relatif rendah sehingga berada pada posisi tertinggi.
Sementara itu, persentase perusahaan di Indonesia yang menjawab "tidak layak dan sesuai" dan "tidak tahu" mencapai 76,2%. Ini merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan negara lain.
Meski begitu, keuntungan terbesar dalam iklim investasi di Indonesia masih berupa skala pasar/potensi pertumbuhan pasar, sedangkan risikonya masih berupa lonjakan biaya tenaga kerja.
Keuntungan dalam iklim investasi di Indonesia yang masih tetap tertinggi adalah skala pasar potensial yang mencapai 83,4%. Angka ini tertinggi kedua setelah India (90,7%) di antara negara ASEAN, Asia Barat, dan Oseania.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pandemi Covid-19, Pengusaha Usulkan UMP 2021 Tidak Naik