
Chatib Basri Sebut Warga +62 Cuma Betah 5 Hari di Rumah

Jakarta, CNBC Indonesia - Penularan kasus positif Covid-19 terus bertambah di tanah air. Hal itu tak lepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih sering keluar rumah.
Ekonom senior dari CReco Research Institute Chatib Basri melakukan sebuah survei menggunakan big data dari Google Mobility Data, untuk mengetahui mobilitas masyarakat saat pandemi. Hasilnya, orang hanya betah di rumah selama 5 hari.
"Jadi, orang kalau mendengar kabar bahwa kasus kematian karena Covid-19 meningkat, dia tinggal di rumah. Tapi mereka tinggal di rumah itu enggak lebih dari 5 hari. Setelah itu keluar lagi," ujar Chatib di dalam acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) 2020 yang diselenggarakan oleh BCA, Selasa (6/10/2020).
Kemudian, Chatib juga menemukan, jika masyarakat mulai kembali bekerja di kantor, jumlah kasus baru pun naik. Termasuk jika masyarakat mulai pergi ke mall, maka jumlah kasus baru pun juga naik.
Sehingga Chatib menyimpulkan, jika ada mobilitas masyarakat keluar rumah, maka kasus baru akan naik. Artinya, orang yang pergi keluar rumah ternyata memberikan dampak pada penambahan kasus baru.
"Saya enggak tahu apakah protokol kesehatannya tidak digunakan dengan baik atau bagaimana. Yang jelas, menariknya adalah kalau kasus kematian naik orang tinggal di rumah tetapi enggak dalam waktu lama," ujarnya.
Lantas, apa yang membuat masyarakat tetap kembali berpergian, meskipun takut jika mendengar kabar kematian akibat Covid-19?
Hasilnya, ada sejumlah faktor. Mulai dari karena faktor ekonomi, ada yang karena alasan psikologis, dan ada yang karena memang merupakan sebuah kebiasaan atau habbit.
Chatib memerinci, faktor ekonomi karena masyarakat tidak punya uang. Oleh karena itu, mereka harus bekerja. Faktor ekonomi ini menjadi pendorong yang kuat terutama pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.
"Kalau ekonomi memburuk dia tidak punya uang pasti keluar rumah untuk bekerja," ujarnya.
Dari faktor psikologis, menurut Chatib, biasanya terjadi pada mereka yang memiliki berpenghasilan tinggi. Ada faktor optimism bias dan present bias. Seseorang keluar rumah karena dia sangat yakin sudah menerapkan protokol kesehatan.
"Melihat teman-temannya baik-baik saja, maka dia juga percaya bahwa dia akan baik-baik saja (optimism bias). Ada juga yang terlalu takut kehilangan pendapatan jika hanya berdiam diri di rumah. Tapi tidak terpikir soal risiko jika suatu saat tertular (present bias)," kata Chatib.
Kemudian untuk faktor kebiasaan, biasanya terjadii bagi mereka masyarakat dengan penghasilan menengah atas, yang biasanya terbiasa untuk nongkrong atau bertemu teman. Hal tersebut sudah menjadi lifestyle sehingga sulit diubah.
"Karena lifestyle enggak mungkin bisa berubah. Sulit untuk menolak ajakan temen-temen. Ini yang berpengaruh di dalam behaviour ekonomi," tuturnya.
Sementara kenapa orang tinggal di rumah saat dengar berita kematian tapi lima hari kemudian pergi lagi, penjelasannya karena faktor ekonomi. Kemudian, lanjut Chatib, adalah faktor psikologi.
Chatib pun mewanti-wanti jika kondisi ini terus berlangsung, maka tidak menutup kemungkinan bahwa proses penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi akan berlangsung dalam waktu yang lama
"Sekarang di dalam kondisi itu kita bisa lihat kalau perilaku seperti itu economic scale-nya masih tidak bisa 100 persen berarti pemulihan ekonomi akan panjang," ujarnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintah Mau Cepat Pulihkan Ekonomi? Tak Semudah Itu!