Duduk Perkara Debat Alot Substansi PKWT dalam RUU Ciptaker

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
28 September 2020 16:07
Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) demo di depan Gedung DPR RI. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi massa buruh berdemonstrasi menolak Omnibus Law (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menambah paradigma baru mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PWKT) atau yang biasa dikenal dengan PKWT di dalam RUU Cipta Kerja.

Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menjelaskan yang membedakan antara PKWT dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah aspek pesangon.

Oleh karena itu, pemerintah ingin di dalam RUU Cipta Kerja itu nantinya tidak perlu diatur durasi para buruh bekerja sebagai PKWT, tapi terpenting adalah aspek job security atau keamanan bekerja dari para buruh.

Menurut Elen, keputusan mengenai PKWT tersebut sudah disepakati antara pemerintah, pengusaha, dan para serikat buruh/pekerja atau disebut tripartit.

"Tidak usah diatur berapa lamanya dia PKWT-nya. Tapi yang kita atur adalah aspek security dari jaminan. Maka dari itu, kami tidak lagi berbasis pada jumlah tahun PKWT-nya. Kami ingin tambahkan, setiap dia [pekerja] selesai PKWT, maka pelaku usaha wajib memberikan kompensasi masa kerjanya," ujarnya rapat dengan Baleg DPR RI, Sabtu (26/9/2020) malam.

"Yang kita kejar kan jaminan security-nya bukan waktunya. Nah ini yang kita ubah konsepsinya. Kami tidak lagi bermain jangka waktu, karena sudah basis sekarang. Tapi, jaminan kepastian ada kompensasi setalah pasca PKWT-nya harus diberikan," kata Elen melanjutkan.

Wakil Ketua Baleg DPR RI dari Fraksi PPP Achmad Baidhowi yang menjadi pimpinan rapat saat itu kemudian menyetujui tambahan paradigma pemerintah tersebut. "Diterima ya? Sudah," ujarnya sambil mengetok palu tanda setuju.

Setelah Baidhowi mengetok palu, kemudian diinterupsi oleh anggota Baleg DPR RI lainnya, yakni Obon Tabroni dari fraksi Partai Gerindra. Dia meminta persoalan PKWT untuk ditunda dibahas.

"Perbedaannya tidak hanya pesangon kerja, tentu tidak hanya sesederhana itu. Pekerja tetap, job security, keamanan kerja ikut ter-protect. Pekerja kontrak, katakan 2 tahun selesai, tapi ketika menjadi pekerja tetap, tidak mudah bagi pengusaha melakukan PHK," ujar Obon.

"Hanya orientasinya pekerja kontrak mereka mendapatkan kompensasi di UU yang baru [RUU Cipta Kerja], setelah itu selesai persolan. Saya rasa gak sesederhana itu, bukan hanya soal kompensasi, tapi kepastian kerja justru menjadi lebih penting. Di-pending saja, karena ini meyangkut hajat hidup kita ke depan," lanjutnya.

Di dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dipaparkan oleh Tenaga Ahli Baleg DPR, Fraksi PDIP juga memandang, pengaturan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang didalam ayat (3) Pasal 56 RUU Cipta Kerja, mendegradasi Pasal 59 UU existing dan bertujuan untuk meligitimasi PKWT seumur hidup (no job security).

Dalam perihal PKWT di dalam RUU Cipta Kerja, PDIP juga memandang negara tidak memberikan perlindungan kepada pekerja sebagai pihak yang tersubordasi dalam hubungan kerja yang akan mudah diekploitasi oleh pengusaha.

PKWT juga menurut PDIP telah bertentangan dengan Pasal 28 ayat (4) UUD 1945 dan bertentangan konsideran menimbang huruf a dan d dan penjelasan umum UU Ketenagakerjaan No. 13/2003.

"Penambahan ayat (3) dan ayat (4) di RUU Cipta Kerja dihapus karena penggunaan frasa 'kesepakatan' melemahkan hak-hak buruh/pekerja dalam hal perlindungan upah dan kepastian kerja," seperti dikutip dalam DIM soal PWKT.

Melanggar Putusan MK?
Seperti diketahui, persoalan Pasal 59 UU Nomor 13/2003 tentang PKWT pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui amar putusan dengan Nomor Putusan 27/PUU-IX/2011.

Sebelumnya, pemerintah telah menegaskan, pemerintah tetap berada pada sikap patuh kepada konstitusi hukum yang sudah diputuskan oleh MK.

Ahmad Baidhowi menegaskan, putusan MK yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yakni terkait dengan perlindungan kerja ketika ada perusahaan mengalihkan pekerjaannya.

"Di undang-undang existing, itu pengalihan perusahaan kerja sama perusahaan itu diatur, padahal itu bukan klaster PKWT. Itu klaster kerja sama perusahaan. Lah di dalam perlimpahan seperti itu, ada ketentuan terkait pekerjanya, itu yang diatur oleh MK. Itu tetap kita adopsi," kata Baidhowi kepada CNBC Indonesia, Senin (28/9/2020).

Pemerintah, menurut Baidhowi, ingin tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini misalnya memindah tugaskan pekerja ke perusahaan lain di tengah jalan.

"Apa itu kita toleransi? kan tidak. Lah yang begitu-begitu nanti dijerat RUU KUHP. Kalau terkait MK soal PWKT sudah semua, tapi norma MK itu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Tapi harus diformulasikan agar operasional, karena sifatnya putusan MK itu negatif legislasi," ujar Baidhowi melanjutkan.

Oleh karena itu, PKWT yang nantinya diatur di dalam RUU Cipta Kerja, yakni perlindungan terhadap tenaga kerja tidak berubah, bahkan untuk perkerjaan tertentu, yang tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 saat ini.

Berikutnya, masa waktu itu, kata Baidhowi, bukan satu tahun, tapi sejak dia bekerja itu tetap dihitung berdasarkan kompensasinya. Untuk batas waktu kapa kerja itu berakhir, yakni paling lama 3 tahun. PKWT pun, menurut dia, sesuai dengan batas kerja yang ditentukan dalam perjanjian.

"Aturannya PKWT itu paling lama 3 tahun, dan kalau pekerja itu masih ada dan perusahaannya permanen di bidang itu, udah 3 tahun itu wajib diangkat. Tetap sebenarnya," jelas Baidhowi.

"Ketika pekerjaannya selesai. Ya memang kalau pekerjannya selesai, buat apalagi. Tapi yang terkait klausul ketika pekerjaannya selesai ini, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan pengusaha untuk mempercepat masa kerja belum sebelum waktunya," kata dia melanjutkan.

Untuk diketahui, berdasarkan amar putusan MK Nomor Putusan 27/PUU-IX/2011 disebutkan, Pasal 59 UU 13/2003 atau tentang PKWT menegaskan, PKWT hanya dapat diterapkan untuk 4 jenis pekerjaan yakni:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b. Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun
c. Pekerjaan yang bersifat musiman
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, dan bersifat tidak tetap.

"Terhadap jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh menghadapi resiko berakhir masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah selesai, dan harus mencari pekerjaan baru "[...] Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945," tulis putusan MK tersebut, dikutip CNBC Indonesia, Senin (28/9/2020).

Untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan.

Berdasarkan putusan MK tersebut, semestinya persolan PKWT tetap bisa menggunakan aturan di dalam undang-undang existing saat ini atau UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diam-Diam RUU Cipta Kerja Sudah Hampir Selesai Dibahas di DPR

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular