
Menteri ESDM Buka-bukaan Alasan Ubah Skema Kontrak Hulu Migas

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kini telah memberikan fleksibilitas dalam pemilihan jenis kontrak bagi investor di hulu minyak dan gas bumi (migas), di mana investor bebas memilih antara skema bagi hasil dari produksi kotor atau yang biasa disebut Kontrak Bagi Hasil (PSC) Gross Split atau Kontrak Bagi Hasil dengan biaya yang bisa dikembalikan pemerintah atau dikenal PSC Cost Recovery.
Fleksibilitas kontrak ini dilakukan dengan mengubah peraturan sebelumnya di mana kontraktor migas diwajibkan menggunakan PSC Gross Split. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Lantas, apa yang menyebabkan akhirnya pemerintah mengubah peraturan tersebut?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun membeberkan sejumlah alasan di balik perubahan peraturan skema kontrak hulu migas tersebut kepada CNBC Indonesia pada Senin (28/09/2020).
Arifin mengatakan keputusan memberikan fleksibilitas skema kontrak hulu migas ini berasal dari hasil komunikasi dan diskusi dengan para pelaku industri migas. Ternyata, lanjutnya, banyak investor cenderung memilih skema Gross Split hanya untuk pengelolaan lapangan migas yang telah berproduksi (existing).
Sementara untuk lapangan migas baru yang memiliki ketidakpastian besar, sehingga memiliki risiko tinggi, investor cenderung memilih untuk menggunakan skema PSC Cost Recovery. Menurutnya, hal ini tak lain dikarenakan investor memerlukan jaminan untuk pengembalian investasi mereka.
Bahkan, lanjutnya, banyak sejumlah negara telah meniru skema kontrak Cost Recovery ini dan bahkan menemukan banyak sumber migas baru dan meningkatkan daya tarik investasi di negara-negara tersebut.
"Sekarang kita akomodasi, baik Gross Split dan Cost Recovery. Kita buka skema ini, sehingga mudah-mudahan ke depan jadi daya tarik investasi,"
paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia pada Senin (28/09/2020).
Namun sayangnya dia mengakui karena adanya pandemi Covid-19, membuat kondisi di hulu migas juga ikut terdampak. Begitu pun dengan permintaan pada energi juga ikut turun.
Dia mengatakan, sebelum adanya pandemi, pemerintah telah menyiapkan lelang 12 wilayah kerja (WK) atau blok migas. Namun karena adanya pandemi, maka lelang ini harus ditunda sambil menunggu waktu yang tepat.
Selama masa penundaan ini, menurut Arifin, pemerintah akan mematangkan data-data wilayah baru yang akan ditawarkan tersebut, sehingga data yang ditawarkan bisa lebih representatif. Upaya perbaikan data ini menurutnya tak lain agar WK migas yang ditawarkan berhasil menarik minat investor.
"Kita tunda lelang 12 WK migas. Sekarang bagaimana kita mematangkan data-data yang ada, sehingga nanti lebih representatif," jelasnya.
Meski sudah dilakukan berbagai upaya untuk menarik investor, tapi dia mengakui masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, salah satunya aspek fiskal. Menurutnya, pihaknya akan terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan terutama dari sisi perpajakan, penyesuaian bagi hasil gross split.
Selain itu, imbuhnya, dialog-dialog juga terus dilakukan dengan para pelaku industri migas untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Target jangka pendek di industri hulu migas menurutnya adalah mempertahankan produksi dari lapangan yang sudah berproduksi. Lalu, mengubah potensi migas dari yang awalnya masih berupa sumber daya (resources) menjadi menjadi produksi.
Pemerintah, lanjutnya, juga akan terus mendorong implementasi Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan kembali produksi dari sumur-sumur tua.
"Jangka panjang, kita harus lakukan eksplorasi masif. Kita konsolidasikan data-data yang sudah ada dan teknologi yang ada agar bagaimana data tersebut bisa dipertajam," tuturnya.
Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak nasional hingga 31 Agustus 2020 mencapai 706,9 ribu barel per hari (bph), sedikit lebih tinggi dari target yang direvisi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBNP) 2020 sebesar 705 ribu bph.
Sedangkan untuk realisasi salur gas hingga Agustus 2020, SKK Migas mencatat salur gas sebesar 5.516 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 99,3 persen dari target APBN-P yakni 5.556 MMSCFD.
Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, pemerintah pada awalnya menargetkan lifting minyak dalam APBN 2020 sebesar 755 ribu bph dan lifting gas sebesar 6.670 MMSCFD.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fleksibilitas Kontrak Migas RI Dongkrak Daya Tarik Investasi
