Arcandra Tahar Komentari KKKS tak Wajib Gross Split, Setuju?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja mengubah peraturan terkait kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas). Pada peraturan baru ini, pemerintah memberikan keleluasaan bagi kontraktor migas untuk menggunakan kontrak bagi hasil dari pendapatan kotor atau biasa dikenal dengan gross split atau kontrak bagi hasil dengan mekanisme biaya bisa dikembalikan pemerintah atau cost recovery.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Namun demikian, perubahan peraturan ini membuat penggagas kontrak bagi hasil gross split turut berkomentar. Dia adalah mantan Wakil Menteri ESDM yang kini juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Arcandra Tahar.
Melalui akun resmi instagramnya, Arcandra menulis tentang "Memahami Insentif Investasi Di Sektor Migas". Dia mengatakan, industri migas merupakan industri dengan biaya dan risiko yang tinggi. Penguasaan teknologi, kemampuan memahami aspek komersial dari sebuah proyek merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki setiap investor, pelaku usaha dan pemangku kepentingan di industri migas.
Ditambah lagi dengan fluktuasi harga minyak saat ini dan konsumsi energi yang menurun akibat pandemi Covid-19, maka menurut dia, banyak perusahaan migas di seluruh dunia melakukan evaluasi terhadap strategi investasinya. Dengan demikian, lanjutnya, kompetisi untuk menarik investasi investor minyak global akan sangat ketat dan kompetitif.
"Dalam situasi ini setiap negara harus memiliki strategi yang tepat agar investor migas tetap fokus mengembangkan proyek atau menambah investasinya di negara tersebut," tuturnya dalam unggahan di Instagramnya pada Rabu (12/08/2020).
Menurut Arcandra, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menarik investasi di sektor migas, misalnya sistem fiskal yang ada menjamin dan memberikan kepastian investasi tanpa harus melakukan negosiasi kontrak kembali.
Investor juga mendapatkan benefit ketika situasi ekonomi atau harga minyak bergejolak. Sebagai contoh, lanjutnya, ketika harga minyak turun, investor bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih baik untuk menjaga tingkat keekonomian proyek migas tersebut. Sebaliknya, ketika harga minyak naik, negara yang akan mendapatkan bagi hasil lebih baik.
"Inilah salah satu daya tarik bagi kontraktor migas untuk menggunakan gross split. Ketika harga minyak turun, kontraktor bisa mendapat tambahan split hingga 7,5% dari gross revenue," paparnya.
Menurutnya, dengan skema gross split ini, kegiatan pengadaan juga menjadi lebih efisien karena tidak melewati birokrasi yang panjang. Dengan efisiensi yang meningkat, maka diharapkan keuntungan kontraktor akan lebih baik dan mampu bertahan dalam masa krisis seperti saat ini.
"Bayangkan jika sebelumnya butuh waktu 10-15 tahun dari eksplorasi sampai mulainya produksi, dengan procurement mandiri dalam sistem gross split, waktunya bisa dipangkas hingga 2-3 tahun lebih cepat. Sehingga kontraktor bisa menghemat banyak biaya seperti biaya operasional dan menaikkan NPV (Nett Present Value)," tuturnya.
Dia pun memaparkan insentif lain bila menggunakan kontrak gross split, yaitu ketika kontraktor memenuhi syarat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), maka bisa mendapatkan tambahan split. Semakin tinggi TKDN, semakin besar pula split tambahan kontraktor. Bahkan jika suatu wilayah migas nilai keekonomiannya rendah, kontraktor bisa mendapatkan tambahan split hingga 5%.
"Ini adalah bukti dan komitmen perlindungan terhadap investor, sehingga kontraktor migas mendapatkan jaminan bahwa investasinya akan menguntungkan. Insya Allah." pungkasnya.
Dalam tulisannya ini dia pun mencontohkan salah satu proyek migas global gagal karena tidak mendapatkan hasil sesuai dengan proyeksi di awal, seperti proyek LNG Prelude di Australia yang dikelola konsorisum Shell. Konsorsium ini menghentikan produksinya karena banyak masalah teknis yang belum terselesaikan dengan teknologi offshore LNG dan diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.
Proyek ini merupakan salah satu fasilitas LNG terapung terbesar di dunia dengan nilai investasi yang sangat besar. Ketika memulai proyek ini pada 2011, dengan proyeksi produksi LNG sekitar 3,6 juta ton per tahun, investasi di Prelude ditaksir butuh biaya antara US$ 10,8-US$ 12,6 miliar.
Pada akhir 2019, investasi proyek Prelude diprediksi telah mencapai US$ 19,3 miliar atau 45% lebih tinggi dari proyeksi awal. Namun LNG yang berhasil dikirimkan jauh lebih rendah daripada kapasitas terpasangnya. Pengiriman LNG pertama Prelude juga berjarak dua tahun dari rencana awal di tahun 2016.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ego Syahrial mengatakan, kontraktor yang kini sudah menggunakan kontrak gross split masih berpeluang untuk pindah ke kontrak cost recovery, namun dengan dilakukan kajian terlebih dahulu. Pasalnya, kontrak gross split memiliki klausul tentang Komitmen Kerja Pasti (KKP) dan bonus tanda tangan (Signature Bonus).
[Gambas:Video CNBC]
Kontrak Migas Tak Lagi Wajib Gross Split, Pertamina Cs Happy?
(Wilda Asmarini/miq)