Kenapa Tesla Pilih India? Ini Kata Eks Wamen ESDM Arcandra

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
24 February 2021 16:35
Tesla
Foto: REUTERS/Mike Blake

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia bercita-cita menjadi pemain global industri mobil listrik. Demi menggapai cita-cita tersebut, Indonesia perlu menggandeng investor, di mana Tesla Inc, perusahaan kendaraan listrik asal Amerika Serikat (AS), terus-terusan dirayu untuk berinvestasi.

Namun, Tesla belum lama ini malah dikabarkan lebih memilih India untuk membangun pabrik mobil listriknya. Menanggapi hal ini, Eks Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar sampai ikut angkat bicara.

Melalui akun Instagram pribadinya @arcandra.tahar, dia membedah secara rinci alasan di balik kenapa Tesla lebih memilih India.

Kenapa pada akhirnya Elon Musk memilih India sebagai tempat produksi dan pusat teknologi di luar Amerika Serikat?

Arcandra mengatakan, pemilihan India sebagai negara untuk membangun pabrik mobil listrik dan pusat teknologinya diduga karena India memiliki ekosistem yang serupa dengan kantor pusatnya di Silicon Valley, California, Amerika Serikat.

Menurutnya, ada tiga hal yang patut diduga menjadi pemicu Tesla membangun pabrik manufaktur dan pusat teknologinya di Silicon Valley, yakni sumber daya manusia yang sangat terampil di bidang IT dan teknik, chip teknologi yang mutakhir, dan pemodal yang berani mendanai proyek start up yang beresiko tinggi.

"Jika Tesla ingin mengembangkan pusat teknologinya di luar AS, mereka akan mencari kota yang ekosistemnya mendekati apa yang ditawarkan oleh Silicon Valley," ungkapnya dalam unggahan di akun Instagramnya tersebut.

Arcandra mengatakan, ada dua kota di dunia yang yang mendekati persyaratan ini, yaitu Tel Aviv di Israel dan Bangalore di India.

Sebelum Tesla memutuskan untuk membuka pusat teknologi di Bangalore, perusahaan otomotif seperti Mercedes-Benz, Great Wall Motors, General Motors, Continental, Mahindra & Mahindra, Bosch, Delphi and Volvo sudah lebih dulu berada di kota ini.

Selain perusahaan-perusahaan yang cukup mapan ini, banyak start up kendaraan listrik (EV) yang bermunculan di Bangalore dengan mengambil manfaat dari ekosistem yang sudah terbangun dengan baik.

Selain Bangalore di India, Israel juga punya ekosistem seperti Silicon Valley di California yang diberi nama Silicon Wadi. Inilah salah satu kota tempat berkumpulnya talenta-talenta terbaik di bidang IT di dunia.

"Perusahaan seperti Intel, IBM, Google, Facebook, Hewlett-Packard, Philips, Cisco Systems, Oracle Corporation, SAP, BMC Software, Microsoft, dan Motorola mendirikan technology centre-nya di kota ini," paparnya.

Demi menarik investor, Tel Aviv dan Bangalore memulainya dengan membangun sumber daya manusianya. Teknologi IT yang berkembang dan masuknya para pemodal adalah hasil dari kerja keras para talenta yang berkualitas tinggi.

"Mereka bisa membuktikan bahwa hasil kerja mereka tidak kalah dari talenta yang berasal dari AS. Kepercayaan ini tidak dibangun dalam hitungan bulan tapi puluhan tahun," ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tidak ada yang tahu secara pasti kenapa Tesla mendahulukan Bangalore, bukan Tel Aviv. Namun pihaknya menduga ada beberapa alasan.

Pertama, dengan mendahulukan Bangalore, Tesla tidak saja mendapatkan ekosistem IT terbaik, tapi juga bisa mendapatkan akses pasar yang sangat besar. India adalah negara dengan jumlah penjualan mobil keempat terbesar di dunia setelah China, AS, dan Jepang.

Kedua, biaya tenaga kerja yang lebih murah dibandingkan dengan Tel Aviv. Biaya hidup di Tel Aviv sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan Bangalore.

"Rata-rata gaji pegawai juga tiga kali lebih tinggi di Tel Aviv. Biaya hidup di Tel Aviv lebih tinggi dari London, Sydney, dan Berlin. Biaya hidup di Bangalore bahkan lebih rendah dari Jakarta," jelasnya.

Keputusan investasi Tesla yang memilih India tentu bisa menjadi pembelajaran. Bahwa seluruh negara kini terus berlomba memberikan daya tarik kepada investor. Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa dan potensi sumber daya manusia yang tidak kalah di dunia.

"Tapi memastikan bahwa kedua aset strategis itu bisa membentuk sebuah ekosistem yang memberikan daya tarik bagi investor, tentu menjadi tantangan yang tidak mudah dibangun dalam sekejap," paparnya.

Menurutnya, perkembangan pusat keunggulan atau center of excellence di Amerika Serikat cukup pesat dan tersebar di beberapa kota. Center of excellence industri finansial berada di Kota New York. Di kota ini terbentuklah ekosistem yang menunjang industri finansial, seperti Columbia University.

"Harvard dan MIT di Boston juga tidak terlalu jauh dari New York. Perusahaan-perusahaan besar di bidang finansial inilah yang kemudian ikut menunjang pasar modal NYSE," paparnya.

Untuk industri energi, center of excellence terletak di kota Houston, Texas. Di sini ada kantor pusat Exxon Mobil, BP, Shell, Chevron, ConocoPhillips dan perusahaan industri energi lainnya. Talenta terbaik didukung oleh University of Texas, Texas A&M University dan Rice University.

Kemudian pusat keunggulan dari industri teknologi berada di Silicon Valley, California. Di kawasan inilah inovasi dan berbagai karya perusahaan teknologi seperti Apple, Google, Facebook mengembangkan usahanya.

"Talenta terbaik di-support oleh Stanford University dan UC Berkeley," ujarnya.

Selanjutnya, khusus untuk otomotif pusat keunggulannya ada di Detroit, Michigan. Di sini perusahaan otomotif ditopang oleh talenta terbaik yang berasal dari University of Michigan dan Michigan State University.

Lebih lanjut dia mengatakan terbentuknya center of excellence, misalnya sektor energi dikarenakan adanya sumber minyak di West Texas, Gulf of Mexico dan negara bagian terdekat seperti Oklahoma dan Lousiana.

Sementara Silicon Valley terbentuk karena berkumpulnya para ahli teknologi IT, pemilik modal dan proyek-proyek teknologi tinggi dari Departemen Pertahanan Amerika. Lahirnya New York sebagai kota pusat industri keuangan dunia tidak berbeda dengan Kota Houston, Detroit dan Silicon Valley Area.

"Tidak dirancang secara khusus untuk industri tertentu, tapi lahir karena adanya kebutuhan di sekitar kota tersebut untuk berkembang dan menunjang aktivitas industri tersebut," jelasnya.

Arcandra bercerita pada suatu hari sempat mendapatkan undangan untuk berkunjung ke pusat teknologi yang didirikan oleh perusahaan kendaraan listrik (EV) dari luar Amerika Serikat di Silicon Valley, California.

Sesampainya di sana, ia dikejutkan dengan tidak adanya tanda-tanda bahwa ini adalah pusat teknologi untuk sebuah perusahaan automobile.

"Bagaimana tidak, selama kunjungan, kami tidak menemukan tim yang merancang body, suspensi, steering systems dan brakes," kata Arcandra bercerita.

Yang ditemui malah sebuah kantor dengan berbagai rangkaian elektronik dengan chip sirkuit terintegrasi yang paling mutakhir. Ditopang oleh sejumlah programmer andal dan tentu ditambah dengan komponen motor listrik.

Berdasarkan pengamatan yang pihaknya lakukan, strategi perusahaan EV dengan membangun pusat teknologinya di Silicon Valley itu tidak terlalu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tesla di awal pendiriannya.

Tesla tidak mendirikan pusat teknologi dan juga pabrik manufakturnya di Detroit Michigan yang sudah menjadi pusat keunggulan industri otomotif di AS selama lebih dari satu abad. Tapi mereka mendirikannya di Sillicon Valley.

"Secara pasti tidak ada yang tahu kenapa Elon Musk memilih Silicon Valley untuk mendirikan Tesla. Namun kami menduga Tesla membutuhkan sejumlah aspek strategis untuk membangun produknya," paparnya.

Pertama, talenta-talenta terbaik di bidang teknologi informasi dengan budaya kerja yang sudah teruji menghasilkan teknologi yg merubah peradaban manusia seperti Google, Apple dll.

"Kedua, technology chips paling mutakhir yang bisa didapat dengan bekerja dalam ekosistem yang sudah terbentuk di Silicon Valley."

Mengenai kendaraan listrik, Arcandra menjelaskan secara garis besar, teknologi mobil listrik hanya mengganti sekitar 30% dari komponen mobil motor berbahan bakar fosil. Artinya, sisa komponen 70%-nya adalah sama, tersedia, dan sangat matang.

Oleh karena itu, dia menduga barangkali tidak diperlukan lagi riset yang lebih dalam lagi. Arcandra beranggapan jika Elon Musk sangat cerdas untuk tidak bermain di komponen yang 70%, tapi dengan mengembangkan yang 30%.

"Sehingga dia akan sulit dikejar oleh kompetitor yang baru mau masuk ke teknologi EV. Patut diduga strategi Tesla itu juga dibaca oleh perusahaan EV asing yang mendirikan technology centre-nya di Silicon Valley," jelasnya.

Akhirnya mereka membawa hasil riset itu ke negara asalnya untuk dikembangkan lebih lanjut. Saat ini negara bersangkutan ikut terjun dan berkompetisi langsung dalam pengembangan teknologi EV, bukan menunggu.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular