RI Resesi? Ya Sudahlah, Ini Yang Penting...!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 September 2020 14:39
Mal Grand Paragon yang sepi (CNCB Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Mal Grand Paragon yang sepi (CNCB Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi menjadi berita yang muncul sehari-hari sejak wabah virus corona (Coronavirus Diseas-2019/Covid-19) melanda dunia. Sekarang yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana caranya agar resesi tidak sampai memakan korban lebih banyak dibandingkan pasien virus corona.

Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun kemudian menyebar menjadi persoalan sosial-ekonomi.

Menangani virus corona, berbagai negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Sebisa mungkin manusia dibuat berjarak antara satu dengan yang lain, agar risiko penularan virus bisa diminimalkan.

Di Indonesia, kebijakan ini diterjemahkan dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aktivitas masyarakat dibatasi untuk sementara agar mengurangi risiko penyebaran virus corona.

Pembatasan kegiatan masyarakat ini yang kemudian membuat pandemi virus corona menjadi problema sosial ekonomi. Saat masyarakat diminta sebisa mungkin untuk #dirumahaja, maka aktivitas produksi akan terhambat. Permintaan konsumen pun berkurang, karena apa yang mau dibeli kalau ngendon di rumah? Virus corona telah memukul ekonomi di dua sisi sekaligus, penawaran (supply) dan permintaan (demand).

Hasilnya, ekonomi Indonesia menciut. Ukuran ekonomi yang dicerminkan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2020 turun 5,32%.

Kuartal III-2020 memang belum berakhir, tinggal hitungan hari. Namun kemungkinan besar kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi akan kembali terjadi.

Jadi, Indonesia sedang di ambang kontraksi PDB selama dua kuartal beruntun. Ini adalah definisi dari resesi, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 1999.

Namun Indonesia tidak sendiri. Berdasarkan catatan Trading Economics, sudah ada 46 negara yang mengidap resesi.

  

HALAMAN SELANJUTNYA >> Vaksin Jadi Juru Selamat (NEXT)

Ya sudah, mau bagaimana lagi. Kalau sudah menyangkut keselamatan dan nyawa, yang lain harus mengalah dulu, termasuk ekonomi. Roda ekonomi tidak akan bisa berputar lancar selama masih ada ancaman virus mematikan.

Satu-satunya jalan untuk membuat semuanya menjadi normal seperti sedia kala adalah vaksin anti-virus corona. Kemungkinan vaksin sudah tersedia tahun depan, awal atau pertengahan tahun. Begitu vaksin sudah ada dan didistribusikan, maka hidup akan berangsur normal kembali. Masyarakat bisa mulai beraktivitas dengan tenang.

Kandidat

Fase

Negara

Dosis

Target Produksi 2021 (Juta Dosis)

University of Oxford/AstraZaneca

3

Inggris

1

2

Wuhan Institute of Biological Products/Sinopharm,

Beijing Institute of Biological Products/Sinopharm

3

China

2

1,3

Sinovac

3

China

2

0,37

Moderna/NIAD

3

Amerika Serikat

2

0,5-1

BioNTech/Pfizer

3

Uni Eropa/Amerika Serikat

2

1,3

Jansen Pharmacueticals/Johnson & Johnson

3

Uni Eropa/Amerika Serikat

2

1

CanSino Biological/Beijing Institute of Biotech

3

China

1

0,1-0,2

Gamaleya Research Institute

3

Rusia

1

0,5

Curevac

2

Jerman

2

0,5

AUS Developer

2

Amerika Serikat

2

2

Inovio Pharmacueticals/International Vaccine Institute

1/2

Amerika Serikat

2

0,1

Sanofi Pasteur/GSK

1/2

Uni Eropa/Inggris

2

1

Pittsburg CVR/Merck Sharp & Dohme

1/2

Amerika Serikat/Uni Eropa

1/2

1

Sumber: Citi

Namun proses vaksinasi terhadap seluruh penduduk pasti memakan waktu yang tidak sebentar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Aliansi Vaksin Dunia (Gavi) dalam program Covax menargetkan untuk memberikan vaksin kepada 20% warga yang paling berisiko di seluruh negara anggota pada akhir 2021. Jadi sampai akhir tahun depan pun belum semua orang bisa mendapatkan vaksin.

Oleh karena itu, penduduk bumi harus sabar dan bertahan hidup sebisa mungkin sampai vaksin bisa dinikmati secara luas dan merata. Akan tetapi, sabar saja tidak cukup. Sebab kalau cuma berbekal sabar, maka akan ada jutaan orang yang kesulitan karena kehilangan pekerjaan, menganggur, dan menjadi miskin. Bisa-bisa korban yang jatuh lebih banyak ketimbang yang terjangkit virus corona.

Di sini lah negara berperan. Otoritas fiskal dan moneter wajib memastikan bahwa rakyat bisa bertahan menghadapi resesi. Stimulus adalah jawabannya.

Pemerintah selaku otoritas fiskal telah menganggarkan dana Rp 695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan rincian sebagai berikut:

  1. Kesehatan Rp 87,55 triliun.
  2. Perlindungan sosial Rp 203,9 triliun.
  3. Insentif usaha Rp 120,61 triliun.
  4. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun.
  5. Pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun.
  6. Sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.

Sampai 16 September, anggaran PEN sudah terealisasi Rp 254,4% arau 36,6% dengan rincian sebagai berikut:

  1. Kesehatan Rp 18,45 triliun (21,57%).
  2. Perlindungan sosial Rp 134,45 triliun (65,94%).
  3. Insentif usaha Rp 22,23 triliun (18,43%).
  4. UMKM Rp 58,74 triliun (47,58%).
  5. Pembiayaan korporasi belum ada realisasi.
  6. Sektoral K/L dan pemda Rp 20,53 triliun (19,35%).

"Pembiayaan korporasi masih dalam proses. Semua sudah siap, tinggal tunggu waktu dan kemungkinan bisa dicairkan," kata Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, dalam jumpa pers APBN Kita Edisi September 2020.

Walau sudah ada anggarannya, kalau belum dipakai dengan optimal ya sama saja bohong. Tidak akan menjadi 'pelumas' perekonomian. Padahal pemerintah sudah rela melebarkan defisit anggaran dan menambah utang demi membiayai program stimulus. Sayang sekali kalau tidak dimaksimalkan, tidak membuat ekonomi dan kesejahteraan rakyat membaik tetapi hanya menjadi beban sampai bertahun-tahun ke depan.

Sementara di sisi moneter, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan 100 basis poin (bps) sejak awal tahun. Kini, suku bunga acuan berada di titik terendah sepanjang sejarah.

"Meskipun inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi mengarah kepada resesi pada kuartal III-2020, volatilitas rupiah dan tekanan keluar arus modal asing diperkirakan akan menjadi pertimbangan bank sentral dalam kebijakan penentuan suku bunganya," sebut Anton Hendranata, Ekonom Senior BRI.

Ya, sejatinya memang ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Saat ini tekanan inflasi nyaris tidak ada. Hingga Agustus, laju inflasi hanya 1,32% year-on-year (YoY), jauh di bawah target sasaran BI yaitu 2-4%.

Penurunan suku bunga acuan diharapkan dapat menjadi 'perangsang' ekonomi yang lemas akibat pandemi virus corona. Saat suku bunga acuan turun, diharapkan suku bunga kredit perbankan bisa mengikuti. Suku bunga kredit yang rendah dapat memancing minat dunia usaha dan rumah tangga untuk melakukan ekspansi, sehingga roda ekonomi berputar lebih kencang.

Sebagai informasi, sudah ada bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu di Mesir. Bank sentral Negeri Piramida menurunkan suku bunga overnight deposit, overnight lending, dan main operation masing-masing 50 bps menjadi 8,75%, 9,75%, dan 9,25%.

"Pertumbuhan ekonomi pada tahun fiskal 2019/2020 diperkirakan 3,5%, turun dari tahun fiskal sebelumnya yaitu 5,6%. Sementara tingkat pengangguran pada kuartal II-2020 tercatat 9,6% dan 7,7% pada kuartal sebelumnya.

"Berbagai data yang masuk terus memberi konfirmasi bahwa terjadi penurunan ekspektasi inflasi. Penurunan suku bunga acuan akan mendukung perbaikan aktivitas ekonomi dengan tetap konsisten terhadap target stabilitas harga dalam jangka menengah-panjang," papar keterangan tertulis bank sentral Mesir.

Oleh karena itu, otoritas fiskal dan moneter sama-sama masih punya pekerjaan rumah. Pemerintah kudu mempercepat realisasi anggaran, sementara BI perlu mempertimbangkan penurunan suku bunga. Rakyat membutuhkan ini untuk bertahan hidup sembari menunggu kedatangan sang 'juru selamat': vaksin.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular