Jakarta, CNBC Indonesia - Perombakan Undang-Undang (UU) Bank Indonesia (BI) semakin kencang bergulir. Bahkan, kabar terbaru menyebutkan perubahan payung hukum tersebut tak lama lagi dibahas pemerintah bersama DPR.
Dalam sebuah dokumen yang diterima CNBC Indonesia, terungkap pemerintah tengah mempersiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23/1999 tentang Bank Indonesia.
RUU tersebut belum memiliki nomor maupun tahun terbit. Namun dalam dokumen itu, tertulis rancangan undang-undang berkaitan dengan perubahan ketiga atas UU 23/1999 tentang Bank Indonesia.
Posisi BI memang dipertanyakan saat ini. Ada tiga faktor yang membuat 'rasanya' pemerintah harus mengubah aturan kebijakan.
 Foto: CNBC Indonesia / Gedung Bank Indonesia |
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan setidaknya 5 poin dalam mereformasi sistem keuangan terutama aturan BI. Dua di antaranya cukup krusial.
"Terkait penguatan koordinasi sedang dikaji penguatan sektor keuangan secara terintegrasi termasuk pengintegrasian pengaturan mikro-makro prudensial," kata Sri Mulyani.
Indonesia pernah menerapkan sistem di mana otoritas pengawas bank dan otoritas moneter berada dalam satu atap, serta sistem yang terpisah seperti saat ini. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dikaji secara lebih hati-hati dalam rangka memperkuat sistem pengawasan perbankan.
Kemudian poin selanjutnya, masih menurut Sri Mulyani adalah penguatan juga dilakukan di sisi instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
"Sedang dikaji penyederhanaan persyaratan instrumen likuiditas bagi perbankan dalam rangka meningkatkan aksesibilitas Bank yang membutuhkan dukungan likuiditas, misalnya pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah (PLJPS) oleh Bank Indonesia sebagai lender of the last resort."
Lantas market pun bereaksi negatif terkait adanya wacana yang menimbulkan gangguan di independensi BI.
Lalu bagaimana DPR menyikapi hal ini? Apakah BI perlu dirombak?
Halaman Selanjutnya >> Peta Politik terkait BI di DPR
Demokrat
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat (PD) Vera Febyanthy yang juga Anggota Komisi XI mengatakan ketidaksetujuannya jika BI dirombak untuk saat ini.
"Terlalu awal jika kita membicarkan teknis revisi RUU BI, tentu kita harus melihat perkembangan ke depan. Kalau bisa, Baleg fokus dulu ke persoalan pandemi covid-19," kata Vera.
Vera menjelaskan, revisi UU BI itu usulan DPR pada akhir tahun lalu sebelum masuk 2020. Termasuk OJK dan LPS.
"Usulan sebelum 2020 itu, revisi UU BI yakni terhadap kinerja BI, koordinasi pemerintah, dan fungsi anggaran, dan anggaran kebijkan mereka. Lebih kepada itu. Penguatan BI sendiri," tegas Vera.
"Pemerintah tak bisa terlalu intervensi terhadap BI. Pemisahan BI dan pemerintah itu udah benar, tapi kalau misalnya dalam rangka akselerasi stimulus fiskal seperti dalam kondisi covid-19 ini. Nah untuk Dewan Moneter [BI di bawah pemerintah], ini bisa kembali ke orba."
Vera meminta Baleg agar menyelesaikan Undang-undang yang lain dulu, karena itu belum terlalu urgent.
"Kami mengapresiasi kinerja BI di tengah pandemi ini dalam menguatkan ekspansi moneter. Dengan fiskal pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kami mengapresiasi."
"Ke depannya koordinasi BI dan pemerintah harus terus ditingkatkan, setiap kebijakan yang diambil, mungkin bisa menjadi momentum untuk perbaiki kinerja BI."
PDIP
Anggota Komisi XI dari PDIP Dolfie OFP mengungkapkan perlunya sinergi antara makroprudensial dan mikroprudensial. Pada prinsipnya PDIP memberikan catatan perlunya aturan BI dirombak. Berikut poin-poin yang disampaikan Dolfie :
"UU Bank Indonesia ditetapkan sejak tahun 1999 dan perubahannya pada tahun 2004. Terdapat perkembangan yang perlu diserap dalam meningkatkan peran Bank Indonesia," katanya kepada CNBC Indonesia.
Beberapa tema yang perlu direspon dalam meningkatkan peran Bank Indonesia, antara lain:
--) Maraknya sistem pembayaran melalui elektronik dan online
--) Pengelolaan devisa hasil ekspor
--) Peran dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
--) Peran dalam ikut membangun pertumbuhan ekonomi
--) Peran dalam ikut memberdayakan UMKM
--) Sinergi makroprudensial dan mikropruidensial
"Hal-hal tersebut perlu untuk mendapatkan pengaturan lebih lanjut di dalam UU Bank Indonesia," kata Dolfie.
Golkar
Bendahara Umum Golkar Dito Ganinduto yang juga Ketua Komisi XI justru berbeda pandangan. Menurutnya Golkar dengan tegas menolak adanya revisi UU tentang BI.
"Menurut saya terlalu awal jika kita membicarakan isi substansi yang berkembang saat ini di Badan Legislasi DPR RI. Kami di Fraksi Partai Golkar DPR RI telah mengirimkan surat ke Badan Legislasi yang isinya adalah menolak revisi RUU tentang Bank Indonesia," kata Dito kepada CNBC Indonesia.
"Di tengah pandemi COVID-19 ini, yang diperlukan adalah penguatan dan reformasi terhadap lembaga atau institusi menjadi fokus utama dalam penguatan stabilitas sektor keuangan sejalan dengan keinginan Pemerintah memperkuat fungsi dan tugas institusi/lembaga tersebut menjaga stabilitas sektor keuangan."
"Saya tentunya tetap mendukung independensi Bank Indonesia sebagai institusi yang merumuskan kebijakan di bidang moneter dan makroprudensial. Ke depan, tentunya penguatan kepada institusi atau lembaga itu harus diperkuat sejalan dengan pelajaran yang kita dapatkan dari pandemi COVID-19 ini," imbuh Dito.
Menurut Dito, Golkar mengapresiasi kinerja Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter melalui berbagai kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
"Kebijakan triple intervention yang telah dilakukan, dan burden sharing antara BI dan Kemenkeu. Tentunya ke depan, penguatan kebijakan harus tetap dilakukan agar terciptanya stabilitas moneter yang memberikan pendorong bagi perekonomian secara keseluruhan."
Gerindra
Anggota Partai Gerindra Kamrussamad yang juga Anggota Komisi XI mengatakan kondisi keuangan terjaga. Ia pun tak setuju adanya perombakan di BI maupun OJK.
"Saat ini dibutuhkan penguatan kelembagaan BI - OJK - LPS. Dan itu sudah termasuk dalam UU No.2 tahun 2020 khususnya dalam menghadapi dampak ekonomi dari Pandemic Covid-19," katanya.
"Kita harus bisa memberikan kepastikan kepada pelaku pasar jangan mereka diombang-ambingkan oleh sesuatu yang sebenarnya saat ini tidak menjadi penyebab masalah," tegas Kamarussamad.
Menurutnya, kondisi sektor keuangan terjaga sesuai peran dari OJK tetap lebih penting penanganan kesehatan. "Sehingga dampak terhadap ekonomi bisa dimitigasi dengan baik."
"DPR & Pemerintah harus memiliki skala prioritas dalam merumuskan kebijakan industri keuangan. "Pengawasan Perbankan saat ini masih relevan dijalankan oleh OJK," terangnya.
PKS
Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati memandang pembahasan revisi undang-undang BI saat ini tidak mendesak. Secara prinsip amandemen UU BI sesungguhnya sudah dilakukan pada saat keluarnya Perppu No.1 tahun 2020 yang menjadi UU no.2 tahun 2020.
"Bahkan UU no 2 tahun 2020 tidak hanya mengamandemen UU BI akan tetrapi juga mengamandemen UU yang terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)," kata Anis yang juga Anggota Komisi XI DPR.
"Perppu ini telah memberikan ruang yang sangat longgar kepada pemerintah untuk menangani krisis keuangan akibat pandemic Covid-19."
Menurutnya, tupoksi BI sudah cukup baik. BI memiliki independensi yang memungkinkanmenjalankan kewenangannya mengambil kebijakan-kebijakan tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk intervensi dari pemerintah.
"Perubahan yang diinginkan dalam rencana revisi UU BI, saya sangat khawatir ada perubahan yang justru berdampak negatif. Banyak hal yang memungkinkan campur tangan pemerintah yang lebih banyak dalam pengambilan kebijakan moneter yang selama ini dilakukan secara independen oleh BI."
"Jika diperhatikan, RUU ini akan menabrak beberapa UU yang sudah ada sebelumnya. yang dibutuhkan saat ini bukan perubahan undang-undang, tapi efektifitas PEN yang telah dikeluarkan pemerintah."
Soal Perppu?
Selain RUU, ada wacana pemerintah juga menyiapkan Perppu. Perppu ini jalan 'Shortcut' untuk merombak Bank Sentral.
Menko Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan buka-bukaan soal reformasi sistem keuangan yang saat ini tengah difinalisasi pemerintah melalui sebuah Perppu [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang].
Luhut mengatakan reformasi sistem keuangan ini diperlukan dalam kondisi krisis karena adanya ketidakpasan dari 3 lembaga regulator. Hal ini juga dilakukan agar tidak ada bank yang berjatuhan.
"Ini kita bisa melihat bahwa memang dalam keadaan krisis ada ketidakpasan Peraturan Perundang-undangan ketiga institusi BI [Bank Indonesia], LPS [Lembaga Penjamin Simpanan] maupun OJK [Otoritas Jasa Keuangan]."