Fakta-fakta Indonesia di Jurang Resesi Akhir September 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara gamblang telah meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2020 negatif.
Mantan Managing Director World Bank ini melihat ekonomi Indonesia akan ada di kisaran minus 2,9% hingga minus 1%.
Artinya perekonomian Nasional terkontraksi dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal II terkontraksi 5,32%. So, Indonesia berarti dalam kondisi resesi ketika angka-angka tersebut terwujud.
BPS akan melaporkan angka PDB di 5 November 2020. Ini akan menjadi penentuan.
Sementara, Sri Mulyani juga mengatakan untuk sepanjang tahun atau full year, perekonomian juga diprediksi akan tetap minus 1,7% hingga minus 0,6%. Hal ini lantaran kontraksi akibat pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di semester II tahun ini.
Kelesuan ekonomi terlihat dari data penerimaan pajak. Pajak menggambarkan aktivitas ekonomi. Pajak Penghasilan (PPh) dibayarkan atas kegiatan yang menimbulkan tambahan pendapatan, sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hadir di hampir setiap transaksi. Jadi kalau penerimaan pajak seret, maka tandanya ekonomi juga sedang mampet.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Dok. Biro KLI-Kemenkeu) |
Sepanjang Januari-Agustus 2020, penerimaan PPh non-migas tercatat Rp 655,3 triliun atau anjlok 14,1% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Memburuk dibandingkan Januari-Juli yang turun 13,5%.
Struktur PPh Indonesia masih didominasi oleh Wajib Pajak Badan ketimbang Orang Pribadi. Jadi penurunan PPh menandakan setoran dari dunia usaha jauh berkurang, perlambang laba yang anjlok.
PPh Badan pada Januari-Agustus 2020 mengalami kontraksi -27,52% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jauh memburuk ketimbang Januari-Agustus yang masih bisa tumbuh 0,81%.
Pada Agustus saja, penerimaan PPh Badan terkontraksi -49,14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Memburuk ketimbang Juli yang terkontraksi -45,55%.
"PPh Badan masih mengalami tekanan berat. Perusahaan mengalami tekanan yang luar biasa," tutur Sri Mulyani.
Mengutip dokumen Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 82,85% dari responden yang berjumlah 34.559 unit usaha mengaku mengalami penurunan pendapatan. Itu artinya delapan dari 10 perusahaan
Ternyata tidak hanya dunia usaha, rumah tangga alias konsumen juga 'tiarap'. Ini terlihat dari penerimaan PPN yang anjlok.
PPN menggambarkan transaksi di perekonomian. Ketika setoran PPN berkurang, itu tandanya aktivitas transaksi alias jual-beli sedang sepi. Terjadi kelesuan, konsumen mengurangi belanja.
Pada Januari-Agustus 2020, penerimaan PPN (dan Pajak Penjualan untuk Barang Mewah/PPnBM) adalah Rp 255,4 triliun. Turun 11,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data lainnya memberi konfirmasi bahwa rumah tangga sedang menahan belanja. Bank Indonesia (BI) dalam Survei Konsumen mencatat, per Agustus 2020 konsumen Indonesia mengalokasikan 67,35% pendapatan untuk konsumsi. Memang masih dominan, tetapi angka tersebut adalah yang terendah sejak Januari 2019.
Lebih mengerikan lagi, adalah masyarakat kelas menengah yang mengurangi konsumsi. Porsi pendapatan yang dialokasikan untuk konsumsi di kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan (yang masuk kategori kelas menengah) pada Agustus 2020 adalah 64,82%. Angka ini di bawah kelompok pendapatan lainnya sekaligus menjadi yang terendah sejak Januari 2019.
Penerimaan PPh dan PPN yang ambrol memberi gambaran bahwa dunia usaha dan rumah tangga belum ekspansif. Oleh karena itu, tidak heran Sri Mulyani dan sejawat akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia bakal mengalami resesi.
PNS Sri Mulyani Bisa Kerja dari Mana Saja, Gaji & Tukin Tetap
(dru)