
Demo Anti-Lockdown di London Berakhir Ricuh

Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari seribu orang berkumpul di pusat kota London pada Sabtu (18/09/2020) untuk memprotes rencana penguncian wilayah (lockdown) guna memperlambat penyebaran virus Covid-19, sebelum akhirnya aksi tersebut dibubarkan oleh polisi.
Aksi protes yang menyebabkan 32 orang ditangkap ini terjadi ketika Perdana Menteri Boris Johnson sedang mempertimbangkan apakah akan memberlakukan lockdown kembali di seluruh Inggris.
Seperti dikutip dari Reuters pada Minggu (20/09/2020), para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan "Covid is a hoax" (Covid itu hoax) dan "My body, my choice: No to mandatory masks" (Tubuh saya, pilihan saya, katakan Tidak pada kewajiban bermasker), serta meneriakkan ke arah polisi: "Pilih pihak mana Anda."
Polisi mengatakan pengunjuk rasa diperintahkan untuk meninggalkan Trafalgar Square dengan alasan bahwa demonstrasi tersebut membahayakan mereka dan anggota masyarakat lainnya.
"Ini, ditambah dengan pecahnya kekerasan terhadap petugas, berarti kami sekarang akan mengambil tindakan penegakan hukum untuk membubarkan mereka yang masih berada di daerah tersebut," kata Kepolisian Metropolitan London dalam sebuah pernyataan.
Berdasarkan undang-undang untuk memperlambat penyebaran infeksi, orang-orang di Inggris tidak diizinkan berkumpul dalam kelompok yang terdiri lebih dari enam orang. Tapi memang ada pengecualian untuk protes politik, tetapi hanya jika penyelenggara mengikuti pedoman untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit.
Penyelenggara protes anti-lockdown sebelumnya telah didenda hingga 10.000 pound atau sekitar US$ 12.914 atau setara Rp 189,8 juta (asumsi kurs Rp 14.700 per US$).
Beberapa pengunjuk rasa pada kemarin, Sabtu, menyuarakan penentangan terhadap kewajiban vaksinasi, serta ketidakpercayaan terhadap pemerintah, media, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Inggris merupakan negara dengan jumlah kasus kematian tertinggi di Eropa akibat virus corona, dengan lebih dari 41.000 kematian. Tes nasional untuk deteksi virus ini ini belum sesuai jumlah permintaan, terutama sejak sekolah dibuka kembali bulan ini.
Meningkatnya jumlah kasus di beberapa bagian Skotlandia, Wales, dan Inggris utara telah menyebabkan pembatasan lokal seperti pembatasan jumlah tamu yang bisa diundang ke rumah, mengurangi jam buka pub dan restoran.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mau ke Inggris? Siap-siap Dikarantina 2 Minggu