
Tugas Berat Mr. Suga, PM Baru Jepang Saat Ekonomi Sekarat

Jepang memang sangat bergantung pada utang. Bond dependency ratio untuk menambal anggaran yang defisit Jepang tercatat mencapai lebih dari 30%. Bahkan tujuh tahun silam, ketergantungan terhadap surat utangnya mencapai angka 46%.
Utang Jepang yang bengkak membuat anggaran pemerintah menjadi tidak produktif. Per tahunnya 23,6% APBN Jepang dialokasikan untuk membayar utang. Untuk membayar bunga utang saja pemerintah harus merogoh 8,8 triliun yen atau setara dengan US$ 84 miliar.
Bayangkan anggaran sebesar itu jika dialokasikan untuk sektor yang produktif hasilnya sudah sebesar apa! Oleh karena itu, pemerintah Jepang butuh adanya reformasi struktural.
Jepang harus melakukan restrukturisasi kebijakan fiskalnya dengan menawarkan berbagai opsi yang punya konsekuensi serta mengundang dilema. Bisa saja Jepang melakukan austherity atau memangkas belanjanya. Namun kebijakan ini jelas tidak populer.
Di saat yang sama, agar terhindar dari krisis utang yang terus menghantui pemerintah Jepang harus memiliki surplus keseimbangan primer. Untuk mencapainya bisa dilakukan dengan memangkas belanja, menaikkan pajak atau bahkan keduanya.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Profesor Kazumasa Ogura dari Research Institute of Economy, Trade, and Industry (RIETI) dan Profesor Takashi Oshio dari Institute of Economic Research di Hitotsubashi University menunjukkan bahwa pemerintah Jepang butuh menaikkan pajak konsumsi hingga 30% untuk membantu mendanai program jaminan sosialnya di luar utang.
Pajak konsumsi sampai 30% sudah pasti besar sekali. Opsi lain yang ditawarkan jika pemerintah ingin tetap menerapkan pola high welfare, high burden adalah dengan meningkatkan pajak konsumsi hingga 15% sembari memangkas anggaran belanjanya agar memperoleh tingkat pajak yang efektif.
Tahun lalu saat Abe masih menjabat, pemerintah Jepang menaikkan pajak konsumsi dari 8% menjadi 10%. Disamping tidak populer, kenaikan pajak terutama untuk pajak konsumsi pada kasus Jepang, juga membawa konsekuensi lain.
Untuk mendongkrak perekonomian Jepang caranya adalah dengan mendongkrak konsumsi masyarakatnya. Pasalnya konsumsi masyarakat menyumbang 54% dari PDB nominal pada kuartal kedua tahun ini.
Namun kenaikan pajak yang terlalu tinggi bisa jadi penghambat konsumsi itu sendiri. Hal ini juga akan semakin memperburuk penyakit kronis jepang yaitu deflasi. Sebuah fenomena penurunan harga yang terjadi secara menahun (untuk kasus Jepang).
Membawa inflasi ke tingkat 2% saja sangat susah bagi Jepang. Sentimen konsumen yang buruk, volatilitas di pasar saham yang tinggi membuat masyarakat mengerem diri untuk berbelanja.
Di tengah terjadinya pelemahan permintaan global, risiko deflasi meningkat. Jepang yang sudah lebih dari satu dekade mengalami deflasi akan semakin parah penyakitnya. Apalagi sebagai aset safe haven yen cenderung terus menguat terhadap dolar AS. Penguatan yen terhadap the greenback tentu akan menurunkan daya saing ekspor Negeri Sakura.
Well, melihat realita di atas pekerjaan rumah seorang perdana menteri Jepang sudah pasti sangat susah dan kompleks. Butuh seorang yang memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan (bold decision) dan pemahaman yang komprehensif serta holistis.
Semoga saja karakter itu dimiliki oleh Yoshihide Suga. Selamat bertugas Mr Suga. Tugas berat sudah menantimu. Ganbatte Kudasai!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]
