
Tugas Berat Mr. Suga, PM Baru Jepang Saat Ekonomi Sekarat

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah kurang lebih delapan tahun tanpa suksesi kepemimpinan, kini Jepang punya perdana menteri baru. Yoshihide Suga kini sah menjadi nahkoda Negeri Sakura yang ekonominya tengah sekarat akibat pandemi Covid-19.
Pada Senin (14/9/2020) Suga resmi menjadi pemimpin partai konservatif Jepang (Liberal Democratic Party) yang telah berkuasa sejak 1955. Kemarin Suga berhasil memenangkan voting di parlemen (Lower House of Parliament) dengan suara mayoritas 314 dari 462 suara dan membuatnya sah menggantikan pendahulunya Shinzo Abe.
Suga yang lebih tua dari Abe tersebut sebelumnya menjabat sebagai sekretaris kabinet atau tangan kanan perdana menteri. Pria 71 tahun itu adalah seorang putra dari petani strawberry dan Ia tak ragu mendeklarasikan diri sebagai self made politician.
Saat sah menjadi perdana menteri, Suga mengatakan akan fokus untuk menangani pandemi Covid-19 dan membawa ekonomi Jepang bangkit. Ia juga menegaskan bakal melanjutkan perjuangan pendahulunya melalui program-program yang dikenal dengan Abenomics.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China, permasalahan Jepang sangatlah kompleks. Mulai dari kejatuhan ekonomi akibat pandemi hingga tantangan untuk melakukan reformasi struktural. Hal ini tentu menjadi tantangan besar serta tugas berat bagi Suga.
Akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Jepang jatuh ke teritori negatif yang sangat dalam. Pada kuartal pertama tahun ini, output perekonomian Negeri Sakura tercatat minus 1,8% (yoy).
Kontraksi berlanjut ke kuartal kedua, bahkan lebih dalam. PDB Jepang menyusut hingga 9,9% (yoy) di kuartal kedua. Kontraksi dua kuartal beruntun membuat ekonomi Jepang jatuh ke jurang resesi.
Angka pengangguran di Jepang langsung meroket. Saat Abenomics berhasil membawa tingkat pengangguran di Jepang dari 4,5% turun ke bawah 2,5%, kini gara-gara pandemi angka tersebut naik hampir 70 basis poin mendekati 3%.
Melihat dampak pandemi yang begitu hebat serta wabah yang terus merebak dan tak kunjung usai, membangkitkan kembali ekonomi yang sekarat tentu sangatlah susah. Apalagi sebelum pandemi terjadi, ekonomi Jepang pada dasarnya sudah menghadapi masalah yang sangat serius.
Dua masalah utama yang dihadapi Jepang bahkan sebelum pandemi adalah populasi yang menua dan utang publik yang terus membengkak. Bahkan utang pemerintah Jepang merupakan yang tertinggi dibanding negara-negara OECD lainnya.
Berbicara soal populasi yang menua, seiring dengan berjalannya waktu proporsi masyarakat Jepang di usia produktif semakin menurun. Hingga tahun lalu saja, jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun (lansia) di Jepang mencapai 28% dari total populasi.
Struktur populasi Jepang yang makin lama makin tak produktif membuat pemerintah negara tersebut harus memberikan jaminan sosial bagi masyarakatnya dalam bentuk tunjangan pensiun hingga asuransi kesehatan.
Pada 2019, pemerintah Jepang menganggarkan hampir 34 triliun yen (US$ 324 miliar) untuk program jaminan sosial. Angka tersebut setara dengan 34% dari APBN Jepang dan kurang lebih 6% dari PDB nominalnya tahun lalu. Ya, mayoritas APBN Jepang memang dialokasikan ke sana.
Namun untuk membiayai jaminan sosial dengan anggaran sebesar itu, pendapatan pemerintah dari pajak tidaklah cukup. Jepang secara terus menerus mengalami defisit anggaran. Angka keseimbangan primer APBN Jepang bahkan minus.
Artinya pengeluaran pemerintah sebelum pembayaran bunga utang sudah lebih besar dari pendapatan yang diperolehnya. Secara sederhana besar pasak daripada tiang. Kurang lebih begitu.
Lantas dari mana uang yang digunakan untuk membiayai semua itu? Jawabannya adalah utang!
Utang pemerintah Jepang sebenarnya sudah mengalami kenaikan sejak tahun 1960-an. Hanya saja laju pertumbuhan utang tersebut baru meroket setelah krisis terjadi awal tahun 1990, ketika pasar saham dan harga properti di negara itu ambruk.
Jepang yang awalnya memiliki keseimbangan fiskal yang paling baik di antara negara-negara G7 berubah menjadi negara dengan defisit yang sangat parah. Utang pemerintah pusat Jepang menggelembung hingga 236,6% dari output perekonomiannya.
Banyak perdebatan muncul terkait masalah utang ini. Ada yang pro karena memang diperlukan dan selama ini masih berada dalam batas 'aman'. Namun yang kontra seringkali mewanti-wanti, gelembung utang yang terlalu besar tersebut bisa membawa Jepang ke dalam kehancuran.
Akumulasi aset-aset keuangan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang dan korporasinya membuat industri perbankan terus menerus membeli surat utang pemerintah. Apalagi ditambah semenjak krisis, suku bunga acuan Jepang dipangkas habis-habisan oleh bank sentralnya.
Kondisi ini membuat pemerintah menjadi semakin ketergantungan dengan utang (indebtedness) dan terus-terusan menerbitkan obligasi. Masalah lain muncul ketika para pelaku pasar melihat obligasi pemerintah Jepang sebagai salah satu aset yang aman.
Hal ini tercermin dari rendahnya imbal hasil (yield) surat utangnya. Dalam konsep investasi, risk & return itu berbanding lurus, jadi ketika risikonya tinggi maka return atau bunga dari instrumen investasi tersebut haruslah lebih tinggi dibanding aset-aset lain yang dikategorikan aman. Begitu juga sebaliknya.
Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang untuk tenor 10 tahun yang digunakan sebagai acuan sampai saat ini memberikan imbal hasil yang rendah. Sayangnya untuk kasus Jepang, imbal hasil yang rendah ini kurang sesuai mencerminkan tingkat keamanannya.
Bagaimana bisa obligasi tersebut dianggap aman ketika utangnya hampir 2,5 kali dari pendapatannya? Jawabannya terletak pada struktur kepemilikan surat utang itu sendiri. Hampir 90% surat utang pemerintah Jepang dimiliki oleh investor domestik dan bank sentralnya (BoJ).
Sebagai otoritas moneter yang dekat dengan pemerintah, imbal hasil bukanlah hal yang penting bagi BoJ. Namun apabila surat utang pemerintah Jepang ini mulai banyak diserap oleh investor asing dan mereka mulai tidak yakin akan kemampuan bayar sehingga meminta bunga yang lebih tinggi, tamat lah sudah.
Jepang memang sangat bergantung pada utang. Bond dependency ratio untuk menambal anggaran yang defisit Jepang tercatat mencapai lebih dari 30%. Bahkan tujuh tahun silam, ketergantungan terhadap surat utangnya mencapai angka 46%.
Utang Jepang yang bengkak membuat anggaran pemerintah menjadi tidak produktif. Per tahunnya 23,6% APBN Jepang dialokasikan untuk membayar utang. Untuk membayar bunga utang saja pemerintah harus merogoh 8,8 triliun yen atau setara dengan US$ 84 miliar.
Bayangkan anggaran sebesar itu jika dialokasikan untuk sektor yang produktif hasilnya sudah sebesar apa! Oleh karena itu, pemerintah Jepang butuh adanya reformasi struktural.
Jepang harus melakukan restrukturisasi kebijakan fiskalnya dengan menawarkan berbagai opsi yang punya konsekuensi serta mengundang dilema. Bisa saja Jepang melakukan austherity atau memangkas belanjanya. Namun kebijakan ini jelas tidak populer.
Di saat yang sama, agar terhindar dari krisis utang yang terus menghantui pemerintah Jepang harus memiliki surplus keseimbangan primer. Untuk mencapainya bisa dilakukan dengan memangkas belanja, menaikkan pajak atau bahkan keduanya.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Profesor Kazumasa Ogura dari Research Institute of Economy, Trade, and Industry (RIETI) dan Profesor Takashi Oshio dari Institute of Economic Research di Hitotsubashi University menunjukkan bahwa pemerintah Jepang butuh menaikkan pajak konsumsi hingga 30% untuk membantu mendanai program jaminan sosialnya di luar utang.
Pajak konsumsi sampai 30% sudah pasti besar sekali. Opsi lain yang ditawarkan jika pemerintah ingin tetap menerapkan pola high welfare, high burden adalah dengan meningkatkan pajak konsumsi hingga 15% sembari memangkas anggaran belanjanya agar memperoleh tingkat pajak yang efektif.
Tahun lalu saat Abe masih menjabat, pemerintah Jepang menaikkan pajak konsumsi dari 8% menjadi 10%. Disamping tidak populer, kenaikan pajak terutama untuk pajak konsumsi pada kasus Jepang, juga membawa konsekuensi lain.
Untuk mendongkrak perekonomian Jepang caranya adalah dengan mendongkrak konsumsi masyarakatnya. Pasalnya konsumsi masyarakat menyumbang 54% dari PDB nominal pada kuartal kedua tahun ini.
Namun kenaikan pajak yang terlalu tinggi bisa jadi penghambat konsumsi itu sendiri. Hal ini juga akan semakin memperburuk penyakit kronis jepang yaitu deflasi. Sebuah fenomena penurunan harga yang terjadi secara menahun (untuk kasus Jepang).
Membawa inflasi ke tingkat 2% saja sangat susah bagi Jepang. Sentimen konsumen yang buruk, volatilitas di pasar saham yang tinggi membuat masyarakat mengerem diri untuk berbelanja.
Di tengah terjadinya pelemahan permintaan global, risiko deflasi meningkat. Jepang yang sudah lebih dari satu dekade mengalami deflasi akan semakin parah penyakitnya. Apalagi sebagai aset safe haven yen cenderung terus menguat terhadap dolar AS. Penguatan yen terhadap the greenback tentu akan menurunkan daya saing ekspor Negeri Sakura.
Well, melihat realita di atas pekerjaan rumah seorang perdana menteri Jepang sudah pasti sangat susah dan kompleks. Butuh seorang yang memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan (bold decision) dan pemahaman yang komprehensif serta holistis.
Semoga saja karakter itu dimiliki oleh Yoshihide Suga. Selamat bertugas Mr Suga. Tugas berat sudah menantimu. Ganbatte Kudasai!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jepang Menanti Perdana Menteri Baru Pengganti Shinzo Abe
