
Tugas Berat Mr. Suga, PM Baru Jepang Saat Ekonomi Sekarat

Akumulasi aset-aset keuangan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang dan korporasinya membuat industri perbankan terus menerus membeli surat utang pemerintah. Apalagi ditambah semenjak krisis, suku bunga acuan Jepang dipangkas habis-habisan oleh bank sentralnya.
Kondisi ini membuat pemerintah menjadi semakin ketergantungan dengan utang (indebtedness) dan terus-terusan menerbitkan obligasi. Masalah lain muncul ketika para pelaku pasar melihat obligasi pemerintah Jepang sebagai salah satu aset yang aman.
Hal ini tercermin dari rendahnya imbal hasil (yield) surat utangnya. Dalam konsep investasi, risk & return itu berbanding lurus, jadi ketika risikonya tinggi maka return atau bunga dari instrumen investasi tersebut haruslah lebih tinggi dibanding aset-aset lain yang dikategorikan aman. Begitu juga sebaliknya.
Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang untuk tenor 10 tahun yang digunakan sebagai acuan sampai saat ini memberikan imbal hasil yang rendah. Sayangnya untuk kasus Jepang, imbal hasil yang rendah ini kurang sesuai mencerminkan tingkat keamanannya.
Bagaimana bisa obligasi tersebut dianggap aman ketika utangnya hampir 2,5 kali dari pendapatannya? Jawabannya terletak pada struktur kepemilikan surat utang itu sendiri. Hampir 90% surat utang pemerintah Jepang dimiliki oleh investor domestik dan bank sentralnya (BoJ).
Sebagai otoritas moneter yang dekat dengan pemerintah, imbal hasil bukanlah hal yang penting bagi BoJ. Namun apabila surat utang pemerintah Jepang ini mulai banyak diserap oleh investor asing dan mereka mulai tidak yakin akan kemampuan bayar sehingga meminta bunga yang lebih tinggi, tamat lah sudah.
(twg/twg)