
Xi Jinping Kalahkan Trump, Ini Sejarah Perang Dagang China-AS

Sejarah tarif keduanya amat panjang. Namun itu dimulai dari 2018.
Di 2018
Pemerintah Amerika pertama kali menjatuhkan tarif impor pada barang-barang China pada Januari 2018. Saat itu tarif dikenakan pada solar dan sel surya serta jenis mesin cuci tertentu.
Langkah tersebut langsung dikritik China. Padahal, sebelumnya kedua negara mengadakan perundingan dagang pertama yang membahas berbagai produk seperti daging dan unggas, hingga baja, aluminium, dan beberapa isu lainnya.
Selang dua bulan setelahnya, yaitu pada 8 Maret 2018, Trump menerapkan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Sebulan setelahnya, pada awal April, China menerapkan balasan dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang AS senilai US$3 miliar.
Pada Mei 2018, kedua negara kembali berunding namun kembali gagal menghasilkan kesepakatan. Setelahnya, pada 15 Juni 2018 pemerintahan Trump mengatakan akan menerapkan tarif impor 25% pada barang-barang China senilai US$50 miliar.
Ancaman tarif impor itu langsung dibalas China. Negeri Tirai Bambu mengumumkan bea masuk untuk US$50 miliar produk AS.
Tiga bulan kemudian, yaitu pada 18 September, setelah mengadakan perundingan dagang yang tidak menghasilkan apa-apa lagi, Trump kembali mengumumkan tarif impor 10% terhadap US$200 miliar barang China. Ia bahkan mengatakan akan menaikkan tarif menjadi 25% di awal 2019.
Trump juga mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan terhadap US$267 miliar produk, jika China membalas. Mengabaikan ancaman itu, sehari setelahnya China mengatakan akan menerapkan tarif impor pada US$60 miliar produk AS.
Ini belum berakhir, Trump pun terus mengancam lagi. Di mana akan menaikkan tarif pada US$200 miliar barang China menjadi 25% dari 10% pada Desember.
Di 2019
Penerapan tarif sempat ditunda setelah Trump mengadakan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan G-20 di Argentina. Tarif itu ditunda selama tiga bulan.
China juga setuju untuk membeli sejumlah produk AS yang sangat substansial dan menangguhkan tarif tambahan yang ditambahkan yang akan diterapkan mobil dan suku cadang buatan AS selama tiga bulan, mulai 1 Januari 2019.
Selama beberapa bulan kedua negara terus melakukan perundingan dagang. Hingga pada 10 Mei 2019, AS akhirnya meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar.
Ini berlanjut pada Agustus. AS kembali menyerang China dengan tarif.
Trump mengumumkan akan mengenakan tarif impor baru sebesar 10% untuk barang-barang China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Alasannya adalah karena China mengingkari janji untuk membeli produk pertanian AS dan menghentikan penjualan opioid fentanyl, sejenis obat penenang yang banyak dipakai di AS.
Pada saat itu Trump juga telah mengatakan akan mengenakan tarif lainnya pada bulan Desember mendatang. Pada bulan yang sama, nilai yuan China jatuh di bawah 7 terhadap dolar AS, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun.
Akibat ini, AS menuduh China memanipulasi mata uangnya demi membantu ekspornya yang merugi akibat perang dagang mereka. Tuduhan itu dibantah oleh bank sentral China. Namun, AS bersikukuh akan menerapkan tarif baru sebagai hukuman.
Di akhir Agustus, China mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada barang-barang AS senilai US$ 75 miliar sebagai pembalasan atas kenaikan tarif yang direncanakan Gedung Putih. Tarif 5-10% itu rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 September hingga 15 Desember, bersamaan dengan tarif AS yang baru.
Namun Trump kembali membalas, mengatakan tarif senilai US$ 300 miliar yang ia rencanakan untuk jatuhkan pada barang-barang China, akan dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September. Trump juga berencana menaikkan tarif yang ada pada US$ 250 miliar barang China dari 25% menjadi 30% mulai 15 Oktober.
Pada 13 Oktober, AS menangguhkan tarif itu. Alasannya adalah karena kedua negara sudah berhasil mencapai kesepakatan awal 'fase satu'.
Tarif Oktober itu bahkan berpotensi dihapuskan oleh AS. Pada pertengahan Desember, Trump juga telah mengumumkan menunda pemberlakuan tarif senilai US$ 160 miliar yang rencananya akan dikenakan pada berbagai barang seperti laptop, hp bahkan video game pada 15 Desember.
Awalnya, proses penandatanganan rencananya akan dilakukan sebelum 15 Desember. Namun, berbagai masalah mulai dari isu demokrasi Hong Kong hingga Muslim Uighur membuat kedua negara terus terlibat perselisihan, yang mengakibatkan penandatanganan belum bisa terlaksana.
Selain menunda tarif, perjanjian itu juga berisi pembelian barang pertanian AS oleh China dan kemungkinan pemotongan tarif yang sudah berlaku pada barang China hingga 50%.
Di 2020
Pada 15 Januari 2020, kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan dagang Fase I. Dalam kesepakatan itu tidak hanya memuat soal peningkatan pembelian barang AS oleh China, tapi juga perjanjian reformasi dalam praktik transfer teknologi paksa China, sebagaimana tercantum dalam dokumen Perwakilan Dagang AS (USTR).
USTR juga mengatakan kesepakatan itu menegaskan kembali sikap AS yang menentang manipulasi mata uang oleh China dan komitmen negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu untuk membeli setidaknya US$ 200 miliar produk ekspor AS selama dua tahun ke depan.
Namun, meski sudah menandatangani kesepakatan dagang Fase I, AS-China masih sering terlibat perselisihan hingga kini. Kedua negara tidak lagi menerapkan tarif-tarif baru dalam perdagangan, tapi telah menjatuhkan serangkaian serangan dalam bidang lainnya.
Terbaru keduanya saling menjatuhkan sanksi pada pejabat masing-masing negara hingga melakukan pembatalan visa. AS juga memberi sanksi pada perusahaan China yang terlibat aktivitas di Laut China Selatan.
Awal bulan ini, AS memblokir sejumlah komoditas yang dituding dimuat dengan cara kerja paksa di Xinjiang. Trump juga menegaskan akan mematikan TikTok, aplikasi populer China, jika tak segera dijual ke perusahaan Paman Sam.
[Gambas:Video CNBC]