Permintaan Minyak Turun & Harga Drop, Ini Dampaknya ke RI

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 September 2020 13:17
Ilustrasi: Fasilitas minyak terlihat di Danau Maracaibo di Cabimas, Venezuela, 29 Januari 2019. REUTERS / Isaac Urrutia
Foto: Ilustrasi: Fasilitas minyak terlihat di Danau Maracaibo di Cabimas, Venezuela, 29 Januari 2019. REUTERS / Isaac Urrutia

Jakarta, CNBC Indonesia - Akibat pandemi Covid-19 yang masih terus merebak di seantero bumi, pembatasan sosial dan mobilitas publik masih banyak diterapkan di berbagai negara. Hal ini berdampak pada penurunan permintaan bahan bakar yang signifikan pada tahun ini.

Kembali meningkatnya jumlah kasus Covid-19 di banyak negara yang dibarengi dengan upaya lockdown lokal, work from home hingga penurunan kinerja industri aviasi membuat Badan Energi Internasional (IEA) merevisi turun permintaan minyak global pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini masing-masing sebesar 0,1 juta barel per hari (bpd) dan 0,6 juta bpd.

Dalam laporan terbarunya yang dirilis bulan ini, IEA memperkirakan permintaan minyak mentah global akan turun 8,4 juta bpd dan baru akan naik tahun depan sebesar 5,5 juta bpd. Hal ini sedikit berbeda dengan perkiraan OPEC yang memprediksi permintaan emas hitam bakal turun 9,46 juta bpd tahun ini dan naik 7 juta bpd tahun depan.

Belakangan ini ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap dinamika supply & demand. IEA melaporkan pasokan minyak global naik 1,1 juta bpd di bulan Agustus menjadi 91,7 juta bpd. Kenaikan pasokan ini terjadi karena pengurangan pemangkasan output oleh OPEC+.

Setelah pasokan di negara-negara non OPEC+ naik selama dua bulan, pemulihan terhenti pada Agustus. Produksi di Amerika Serikat turun 0,4 juta bpd karena adanya Badai Laura yang memaksa aktivitas produksi berhenti sebagai bentuk tindakan pencegahan.

Total pasokan non-OPEC diperkirakan akan turun 2,6 juta bpd pada 2020, sebelum pulih dengan kenaikan sebesar 0,5 juta bpd pada 2021. Belum lama Badai Laura menerjang, kini pantai Teluk AS dan Mexico kembali diterpa badai lagi, yaitu Badai Tropis Sally. Tentu hal ini membuat produksi kembali terdisrupsi.

Biasanya fenomena seperti ini akan membuat harga minyak mentah terangkat. Namun memasuki bulan September harga minyak mentah untuk kontrak futures-nya malah drop ke bawah US$ 40/barel.

Pemicunya apalagi kalau bukan permintaan minyak yang masih lemah dan membuat stok meningkat. Stok minyak di negara-negara OECD naik 13,5 juta barel (0,44 juta bpd) menjadi 3,2 miliar barel di bulan Juli.

IEA mencatat kenaikan stok minyak OECD dari awal tahun sampai Juli mencapai 334,5 juta barel atau dengan kecepatan rata-rata 1,57 juta bpd. Data awal untuk Agustus menunjukkan bahwa stok minyak mentah industri turun di tiga wilayah yaitu AS (turun 19,3 juta barel), Eropa (turun 9,8 juta barel) dan Jepang (turun 1,3 juta barel).

Pada bulan Agustus, volume minyak mentah di penyimpanan terapung turun tajam sebesar 59,9 juta barel atau dengan laju penurunan sebesar 1,93 juta bpd menjadi 168,4 juta barel. 

Namun laporan awal menunjukkan volume mungkin naik pada bulan September. Hal ini lah yang membuat harga minyak tertekan di bulan kesembilan tahun ini.

Penurunan harga minyak mentah global juga membuat harga minyak mentah domestik tertekan. Indonesian Crude Price (ICP) sempat drop ke US$ 20,66 per barel dari Januari di US$ 65,38 per barel. Kini ICP berangsur membaik dengan ICP Juni mencapai US$ 36,68 ( 42%). Kemudian pada Juli naik lagi ke US$ 40,64 per barel.

Penurunan harga minyak ini tentu berdampak pada semua pihak di Tanah Air, baik pemerintah, bank sentral pelaku usaha hingga masyarakat luas. Sebagai net oil importer, penurunan harga minyak memberikan dampak positif bagi Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter Tanah Air.

Kebutuhan devisa untuk mengimpor minyak menjadi berkurang. Dari sisi neraca perdagangan dan transaksi berjalan, penurunan harga serta kebutuhan impor ini pun memberikan dampak yang positif.

Data BPS menunjukkan, impor migas RI bulan Agustus tercatat mencapai US$ 0,95 miliar atau turun 0,88% (mom) dibanding Juli dan anjlok 41,75% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu.

Pada periode Januari-Agustus 2020, RI mengimpor US$ 7,8 miliar minyak mentah dan hasil olahannya. Angka ini turun 25% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 10,4 miliar.

Hal ini berdampak pada penurunan defisit neraca migas Tanah Air yang semula US$ 6,3 miliar menjadi US$ 4,2 miliar saja untuk periode delapan bulan pertama tahun ini.

Mengecilnya defisit neraca migas ini juga memberikan sumbangsih terhadap penurunan defisit transaksi berjalan (CAD) RI. Pada kuartal kedua CAD membaik menjadi US$ -2,8 miliar atau -1,2% PDB.

Bagi pemerintah, penurunan harga minyak mentah ini memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif penurunan harga minyak tentu membuat kebutuhan anggaran untuk subsidi BBM bisa menjadi lebih ringan.

Namun dampak negatifnya juga banyak. Anjloknya harga minyak mentah membuat penerimaan pajak dari sektor ini juga tertekan. Selain itu investasi migas terutama di sektor hulu juga ikut terdampak negatif. 

Hingga Mei 2020, investasi di sektor hulu migas yang sudah terealisasi baru US$ 3,93 miliar. Investasi yang awalnya ditargetkan mencapai US$ 13,8 miliar diperkirakan paling maksimal di angka US$ 11,8 miliar tahun ini.

Penurunan aktivitas eksplorasi, eksploitasi hingga investasi terutama di sektor hulu migas RI tentu sangat mengkhawatirkan karena kaitannya dengan topik ketahanan energi nasional.

SKK Migas melaporkan hingga semester I 2020, produksi minyak sebesar 720,2 ribu barel minyak per hari (bpd). Untuk realisasi lifting minyak sebesar 713,3 ribu bpd, atau 94,5% dari target awal 755 ribu bpd.

SKK Migas memangkas target produksi siap jual atau lifting minyak pada 2020 senilai 50 ribu barel per hari (bpd). Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan target pada 2020 kini sebesar 705 ribu bopd. Angka tersebut turun dari target awal yakni 755 ribu bpd.

Lifting yang terus menurun sementara permintaan masih jauh lebih banyak dari output yang tersedia membuat RI tak bisa berdikari. Ketergantungan terhadap pasokan sumber energi dari luar membuat Indonesia rentan terkena shock eksternal dan fluktuasi harga energi global.

Anjloknya harga minyak juga berpengaruh terhadap APBN. Analisis sensitivitas asumsi makro APBN 2020 menyebutkan, setiap penurunan ICP rata-rata US$ 1 per barel setahun akan menurunkan pendapatan negara dalam kisaran Rp 3,6-4,2 triliun.

Artinya, dengan ICP yang anjlok drastis seperti sekarang ini bakal membuat APBN juga terbebani. Selain APBN yang terbebani, upaya untuk mewujudkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% tahun 2025 menjadi terhambat.

Sampai dengan tahun lalu, pangsa pasar EBT di Tanah Air baru mencapai 9% saja. Sementara porsi minyak dan gas masih mendominasi dengan pangsa pasar mencapai 49% sendiri. 

Anjloknya harga minyak ini akan membuat penggunaan biodiesel dari minyak sawit mentah menjadi kurang ekonomis. Target implementasi program biodiesel (B40) tahun depan juga menjadi terancam. Apalagi saat ini ketika harga komoditas energi minyak masih tertekan hebat, harga CPO sudah kembali ke level sebelum pandemi.

Well, meski penurunan harga minyak mampu memberikan dampak positif bagi RI, ternyata mudaratnya juga tak kalah banyak lho.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Arab Saudi Tak Lagi Kendalikan Pasar Minyak Global?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular