Runyam! Lahan, Upah, Izin Bikin Investor Deg-Degan Masuk RI

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
14 September 2020 20:48
Proyek pembangunan kereta api ringan (Light Rail Transit) Jabodetabek di kawasan Cibubur, Jakarta, Sabtu (6/12). Pembiayaan proyek LRT terus membengkak, dari nilai proyeknya yang semula Rp 26,7 triliun, kini melonjak menjadi Rp 31 triliun.
Direktur Keuangan PT KAI Didit Hartantyo mengatakan, besaran nilai kebutuhan investasi LRT Jabodebek masih dalam pematangan karena masih ada perubahan terkait dengan rencana pembangunan. Misalnya, ada penambahan jumlah stasiun serta perubahan penggunaan sistem persinyalan dari sebelumnya fix block menjadi moving block.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) masih terus dibahas oleh Pemerintah dan Badan Legsilasi (Baleg) DPR. Hari ini, salah satu pembahasan yang dibahas yakni mengenai penanaman modal di wilayah Indonesia.

Deputi Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman menjelaskan, daya saing investasi di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan lima negara di ASEAN.

Beberapa hal yang membuat investor asing lebih memilih untuk berinvestasi di ASEAN, beberapa di antaranya, harga lahan di Indonesia mahal, upah buruh domestik lebih tinggi dibandingkan dengan 5 negara ASEAN, dan banyaknya bidang usaha yang tertutup untuk investasi asing.

"Kalau kita lihat ada perbandingan, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam, maka dibandingkan dengan Vietnam kita masih jauh, apalagi dengan harga lahan," jelas Ikmal dalam rapat dengan Baleg DPR, Senin (14/9/2020).

Harga lahan di Indonesia misalnya, harganya bervariasi antara Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta per meter. Sementara di Vietnam harga tanah per meter hanya Rp 1,27 juta.

Kemudian bidang usaha di Indonesia dengan 5 negara ASEAN, sebanyak 20 bidang usaha di Indonesia tertutup untuk asing, sedangkan bidang usaha terbuka dengan persyaratan ada 495 bidang usaha.

"Jadi totalnya ada 515 bidang usaha yang diatur. Kalau kita lihat di negara-negara lainnya, minim sekali. Ini yang menjadi daya tarik berkurang," jelas Lukman.

Menurutnya yang membuat investor 'ogah' berinvestasi di Indonesia, karena upah minimum per bulan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan 4 negara di ASEAN.

Ia merinci, di Indonesia upah minimum per bulan mencapai Rp 3,93 juta (US$ 279), kemudian Malaysia dengan upah buruh Rp 3,89 juta (US$ 268), Thailand dan Filipina dengan upah minimum per bulan rata-rata mencapai Rp 3,19 juta (US$ 220), dan Vietnam Rp 2,64 juta (US$ 182).

"Dan paling kurang menarik lagi adalah tingkat kenaikan rata-rata upah per tahunnya, Indonesia kenaikan upah rata-rata 8,7%. Dan ada tarif-tarif lain, yang kita belum bisa bersaing dengan negara-negara di ASEAN lainnya," jelas Lukman.

Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Elen Setiadi menjelaskan memang di awal tahun 2006, upah minimum di Indonesia dengan 4 negara ASEAN relatif sama.

Namun, keempat negara tersebut, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina melakukan perubahan penanaman modal, di mana hambatan regulasi semakin minim, sementara Indonesia tidak.

"Inilah yang menyebabkan, jika dibandingkan, mereka mengalami peningkatan investasi dari PMA [Penanaman Modal Asing]. Kita tidak terlalu cepat menangkap peluang investasi ini," jelas Elen.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Realisasi Investasi Asing Keok! Turun 9,2% di Triwulan I-2020

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular