Ini Cara Pemerintah Demi Bisa Kejar Target EBT 23% di 2025

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
14 September 2020 13:12
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (CNBC Indonesia/ Andrean Krtistianto)
Foto: Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (CNBC Indonesia/ Andrean Krtistianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah optimis target bauran energi baru terbarukan mencapai sebesar 23% pada 2025 bakal tercapai, meski sampai akhir 2019 capaiannya baru sekitar 9,15%. Artinya, banyak tantangan yang akan dihadapi pemerintah untuk bisa mengejar target bauran energi 23% tersebut.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) F.X. Sutijastoto mengatakan pemerintah akan melakukan sejumlah upaya agar target bauran EBT 23% pada 2025 seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai. Salah satunya yaitu berupaya menurunkan biaya energi baru terbarukan sehingga tarif EBT nantinya bisa masuk secara skala keekonomian yang wajar.

Untuk mengejar itu, kebijakan harga dari Menteri ESDM tidak lagi dalam Peraturan Menteri (Permen), namun akan diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres).

"Di dalam Perpres (tarif EBT) kita upayakan harga keekonomian yang wajar, namun terjangkau dengan insentif. Kalau untuk panas bumi, kami berikan insentif dengan cara pemerintah ikut melakukan pemboran atau eksplorasi," ungkapya dalam wawancara khusus dengan CNBC TV Indonesia, Senin (14/09/2020).

Dia juga mengatakan, pemerintah melakukan mitigasi risiko dengan menggunakan pendanaan-pendanaan murah misalnya dari World Bank. Lalu, pemerintah menurutnya juga akan berupaya menciptakan pasar bagi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar.

Dia menyebutkan, di Sulawesi ada potensi permintaan listrik yang besar yakni dari industri smelter. Untuk itu, diperlukan pembangunan infrastruktur jaringan transmisi agar industri smelter bisa menyerap listriknya. Hal ini menurutnya bisa menjadi peluang bagi sumber energi baru terbarukan di sekitar wilayah itu untuk bisa dikembangkan.

Begitu juga di wilayah Indonesia Timur lainnya seperti adanya industri perikanan, sumber ekowisata di Flores, dan lainnya. Di Flores, lanjutnya, ada sumber energi panas bumi 1.000 MW yang bisa dibangun.

Selain itu, lanjutnya, bahan bakar PLTU yang semula batu bara juga berpotensi dialihkan menjadi berbahan bakar gas atau biomassa (cofiring) sampai 5%.

"Ini semua kita upayakan agar bisa capai 23%. Sisanya, dilakukan melalui program biofuels, B30 sudah baik dan Pertamina sangat konsisten mengembangkan, bahkan bisa bangun kilang D100 di Dumai. Ini strategi capai 23% (target bauran EBT di 2025)," tuturnya.

Dia menegaskan Indonesia memiliki potensi EBT sekitar 442.000 MW yang bisa didorong. Oleh karena itu, di dalam Perpres tentang tarif EBT menurutnya ada penugasan kepada Kementerian dan Lembaga untuk mendukung EBT ini, serta perbaikan tata kelola akan dilakukan.

"Kami sinergikan dengan pembangunan daerah, berikan iklim investasi mudah. BKPM cukup progresif bahkan ada instruksi presiden agar persetujuan satu pintu itu di BKPM. Ini harus dilaksanakan. Strategi ini melibatkan Kementerian Lembaga terkait, oleh karena itu kami gunakan Perpres," jelasnya.

Sebelumnya, dia pernah mengungkapkan tujuh urgensi di balik penerbitan Perpres EBT, antara lain potensi EBT sebesar 442 GW, namun baru bisa terimplementasi sebesar 10,4 GW (2,4%).  Adapun realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target RUEN sebesar 23% di tahun 2025.

"Pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum masuk ke skala keekonomian, seperti PLTS sehingga harganya masih tinggi," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, (28/07/2020).

Kedua, Pengembangan EBT menciptakan nilai-nilai ekonomi baru. Ketiga, Perpres harga EBT memberikan nett benefit yang positif. Keempat, harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar. Kelima, belum ada kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) pembangkit Independent Power Producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017.

Keenam, perlunya dukungan berbagai kementerian dalam mengoptimalkan pemanfaatan EBT. Dan terakhir, perlunya instrumen kebijakan untuk mengnyinergikan dan menyinkronkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah dari kementerian lembaga terkait guna mendukung EBT. 


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Demi Gaet Investor, Pemerintah Ikut Ngebor Geothermal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular