Apa Kabar Target Bauran Energi Terbarukan RI 23% di 2025?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
29 July 2020 13:10
Menteri ESDM Ignasius Jonan melepas road test B30 di gedung KESDM, Jakarta, Kamis (13/6). B30 akan menggantikan pemakaian BBM impor sebesar 55 juta barel. B30 akan menggantikan pemakaian BBM impor sebesar 55 juta barel. Menteri ESDM Ignasius Jonan didampingi Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, me-launching Road Test Penggunaan Bahan Bakar B30 (campuran biodiesel 30% pada bahan bakar solar) pada kendaraan bermesin diesel. Launching Road Test B30 ditandai dengan pelepasan keberangkatan 3 unit truk dan 8 unit kendaraan penumpang berbahan bakar B30 yang masing-masing akan menempuh jarak 40 ribu dan 50 ribu kilometer. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Launching bahan bakar B30 (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kendati demikian, capaiannya masih jauh dari target, yaitu baru mencapai 9,15% di tahun ini.

Situasi ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang berdampak pada penurunan harga minyak dunia. Imbasnya, energi fosil lebih murah dibandingkan EBT. Lantas, bagaimana bauran EBT 23%?

"Lima tahun terakhir EBT terus meningkat. Dengan program ke depan meningkatkan EBT, kita mencoba optimis untuk tetap 23% di tahun 2025 sesuai dengan target yang sudah dicanangkan," ujar Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (29/7/2020).

Salah satu upaya yang dilakukan adalah uji coba D100. D100 merupakan diesel solar yang berasal dari 100% bahan nabati. Uji coba, menurut Djoko, sudah dilakukan di Dumai,

"Kita bekerja sama, Pertamina dengan ITB, dengan industri pupuk bangun katalisnya buat bensin yang bersumber dari bahan bakar nabati. Ini pemerintah memberikan kemudahan insentif ini masuk PSN, mendapatkan kemudahan pajak dan izin," katanya.

Lebih lanjut, dia bilang ketahanan energi Indonesia saat ini berada di angka 6,44. Namun, dengan keberadaan D100 dan green fuel lain, indeks ketahanan energi meningkat ke angka 7,99.

"Bahkan ke angka 8-10 yang sangat tahan jika semua bahan nabati, semua jenis BBM nggak impor lagi, gantikan LPG dengan DME dengan kompor listrik, kendaraan listrik. D100 jika terdistribusi secara umum kualitas bagus akan kurangi impor. Euro 5 hingga Euri 6 kita ikuti standar internasional menuju ramah lingkungan," ujar Djoko.


Selain dengan D100, B30 juga berkontribusi dalam mendorong bauran EBT. Dalam satu tahun, dia menjelaskan produksi minyak sawit tanah air sebanyak 46 juta kilo liter hingga 49 juta kilo liter. Sebagian besar masih digunakan untuk pangan dan kosmetik sebesar 40 juta kilo liter. Seperti diketahui dalam mengimplementasikan B30, pemerintah menetapkan kuota Fatty Acid Methyl Ester (FAME) 9,6 juta kilo liter.

Djoko mengatakan, stakeholder berkomitmen investasi ke dalam harga jual B30. Sementara dari produsen FAME, menurut dia, saat harga ekspor sawit lebih tinggi, mereka cenderung ekspor. Sementara saat harga rendah terus mendorong program biodiesel.

"Kemarin tertahan karena Covid-19 harga fosil murah jadi orang cenderung pengen balik ke fosil," kata Djoko.



Terkait EBT, Kementerian ESDM mendorong agar peraturan presiden (perpres) EBT segera disahkan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM FX Sujiastoto mengatakan, ada tujuh ugensi di balik perpres EBT itu.

Pertama, potensi EBT sebesar 442 GW, namun baru bisa terimplementasi sebesar 10,4 GW (2,4%). Realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target RUEN sebesar 23% di tahun 2025.

"Pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum masuk ke skala keekonomian, seperti PLTS sehingga harganya masih tinggi," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, (28/07/2020).

Kedua, Pengembangan EBT menciptakan nilai-nilai ekonomi baru. Ketiga, perpres harga EBT memberikan nett benefit yang positif.

Keempat, harga pembelian tenaga listrik dari PLT EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar. Kelima, belum ada kontrak/PPA pembangkit Independent Power Producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017.

Keenam, perlunya dukungan berbagai kementerian dalam mengoptimalkan pemanfaatan EBT. Dan terakhir, perlunya instrumen kebijakan untuk mensinergikan dan mensinkronkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah dari kementerian lembaga terkait guna mendukung EBT.

"Membangun kebijakan agar supaya EBT itu mempunyai arena kompetisi yang seimbang dengan energi fosil, revisi aturan dan perundangan dukung EBT dengan selesaikan perpes harga EBT. Nanti di samping harga juga dorong kementerian/lembaga terkait mendukung kebijakan Kementerian ESDM," kata Sujiastoto.

"Sejak dengan adanya kebijakan harga mengandalkan permen sampai dengan saat ini kontrak EBT juga sangat terbatas," lanjutnya.

Sujiastoto memperkirakan perpres ini bisa disahkan pada akhir tahun ini. Hal itu mengingat komunikasi antarkementerian dan lembaga sudah sangat baik.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Batu Bara, RI Ekspor Sumber Energi Ini ke Singapura

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular