
AS Sudah Resesi Sejak Maret, Indonesia Segera Menyusul...?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) dinilai sudah mengalami resesi sejak Maret 2020. Dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memang memberi pukulan yang sangat berat kepada perekonomian Negeri Paman Sam.
US National Bureau of Economic Research (NBER) setiap bulan melaporkan pembaruan apakah ekonomi AS sedang mengalami ekspansi atau resesi. Resesi dilambangkan dengan angka 1, sementara ekspansi adalah 0.
Pada Agustus, NBER masih memberi ponten 1. Kali terakhir AS menjalani ekspansi ekonomi adalah pada Februari.
Sebelumnya, Negeri Adikuasa menjalani periode ekspansi terpanjang dalam sejarah. Andai tidak ada pandemi, bukan tidak mungkin ekspansi terus berlanjut.
"Dalam menentukan resesi, Komite mempertimbangkan seberapa dalam kontraksi ekonomi, seberapa lama waktunya, dan apakah terjadi perlambatan aktivitas ekonomi dalam skala luas. Komite memandang bahwa respons untuk menanggulangi pandemi telah menyebabkan terjadinya resesi," sebut pernyataan tertulis NBER.
Namun dalam konsepsi yang umum, resesi dicirikan dengan kontraksi (pertumbuhan negatif) Produk Domestik Bruto/PDB dalam dua kuartal beruntun. Mengacu ke sini, AS bisa dibilang sudah dan belum resesi.
Dari sisi perubahan PDB secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), AS sudah resesi. Sebab pada kuartal I-2020 ekonomi AS terkontraksi 5% dan pada kuartal berikutnya terkontraksi 32,9%. Kontraksi dua kuartal beruntun berarti kontraksi.
Namun secara tahunan (year-on-year/YoY), AS sebenarnya belum resesi. Memang pada kuartal II-2020 PDB Negeri Adidaya terkontraksi 9,14%. Namun pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 0,32%.
Bahkan pada kuartal III-2020 ekonomi AS diperkirakan sudah pulih. Mengutip proyeksi GDPNow dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada Juli-September 2020 adalah 30,8% annualiazed. Wow...
Kalau ekonomi AS sepertinya bisa bangkit pada kuartal III-2020, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berisiko masuk zona resesi?
Seperti halnya AS, Indonesia belum masuk resesi kalau melihat pertumbuhan ekonomi secara tahunan. Memang PDB Indonesia pada kuartal II-2020 terkontraksi 5,32%, tetapi kuartal sebelumnya masih tumbuh 2,97%.
Penentuannya ada di kuartal III-2020. Kalau negatif lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi.
Sayangnya, kemungkinan ke arah sana cukup besar. Ada beberapa indikator yang memberikan konfirmasi. Pertama adalah inflasi. Pada Juli dan Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi secara bulanan (month-to-month/MtM). Bank Indonesia (BI) memperkirakan September masih terjadi deflasi sebesar 0,01%.
"Penyumbang utama deflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas telur ayam ras dan bawang merah masing-masing sebesar -0,03% (MtM), daging ayam ras sebesar -0,02%, jeruk, cabai merah, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01%," ungkap BI dalam laporan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan kedua September 2020.
Deflasi menggambarkan permintaan sedang lesu. Kelesuan permintaan kosumen direspons oleh pengusaha dengan penurunan harga. Ekonomi yang semacam ini tentu tidak sehat.
Kedua adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). IKK menggunakan angka 100 sebagai awalan. Kalau masih di bawah 100, maka artinya konsumen masih pesimistis memandang situasi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan.
Sudah lima bulan berturut-turut IKK berada di bawah 100. Sejak menyentuh titik terendah sejak 2005 pada Maret lalu, IKK memang berangsur-angsur membaik. Namun belum juga menyentuh (apalagi melebihi) 100.
Ketiga adalah penjualan ritel. Penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) mengalami kontraksi 12,3% YoY.
Penjualan ritel belum bisa lepas dari kontraksi selama delapan bulan beruntun. Bahkan pada Agustus 2020, BI memperkirakan penjualan ritel masih turun dengan kontraksi IPR 10,1% YoY. Dengan begitu, rantai kontraksi penjualan ritel kian panjang menjadi sembilan bulan berturut-turut.
Berbagai data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Wabah virus corona yang coba diredam dengan pembatasan sosial (social distancing) membuat aktivitas ekonomi seolah mati suri, baik di sisi produksi maupun permintaan.
Konsumsi rumah tangga adalah kontributor terbesar dalam pembentukan PDB dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%. Jadi kalau konsumsi rumah tangga sangat lemah, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi seperti pada kuartal II-2020.
Oleh karena itu, kemungkinan PDB Indonesia masih akan negatif pada kuartal III-2020. Dengan begitu, Indonesia akan membukukan kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi dari resesi.
Semakin hari sepertinya peluang terjadinya resesi di Ibu Pertiwi kian mendekati kepastian. Kalau resesi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tugas dari para pembuat kebijakan agar resesi itu tidak dalam dan lama. Sebab kalau resesi terlampau dalam dan lama, itu namanya depresi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%