
Disorot Pusat, Mungkinkah DKI Great Lockdown II Lagi?

Berbicara soal Covid-19, China sebagai episentrum awal wabah merupakan negara yang juga membuka restriksinya untuk pertama kali, terutama di kota Wuhan di awal April lalu saat kasus di dunia sedang ganas-ganasnya.
Kemudian ketika kasus Covid-19 mulai berangsur melandai di Benua Eropa, banyak negara yang mulai melonggarkan pembatasannya. Namun penggunaan masker dan sederet pembatasan lain di ruang publik masih diterapkan.
Hanya saja pelonggaran ini juga menimbulkan konsekuensi lain. Adanya kontak antara satu orang dengan orang lain membuat transmisi atau penularan virus kembali terjadi. Alhasil jumlah kasus pun melonjak.
Vietnam yang awalnya dipuji karena menjadi negara yang sukses mengendalikan Covid-19 pun akhirnya harus kelabakan karena mengalami lonjakan kasus yang signifikan dan kasus kematian pun mulai tercatat. Kasus-kasus ini juga banyak dijumpai di negara lain.
Sampai dengan 28 Juli lalu, ada 10 negara yang kembali menerapkan lockdown akibat adanya lonjakan kasus. Namun lockdown yang diterapkan ini tidaklah bersifat masif seperti sebelumnya.
Lockdown cenderung bersifat parsial atau terlokalisir. Negara-negara tersebut di antaranya Amerika Serikat (AS), Australia, Iran, Italia, Jerman, Norwegia, Spanyol, Vietnam bahkan China.
Beberapa negara seperti Spanyol, Amerika Serikat hingga Jerman sempat menginstruksikan beberapa wilayah yang mengalami peningkatan kasus untuk menutup bar yang menjadi sumber baru atau lokasi penularan.
Beberapa negara seperti Italia dan Jerman juga memmberikan larangan bepergian secara khusus ke negara atau kota tertentu yang mengalami kenaikan jumlah kasus. Lockdown spasial dalam lingkup kota juga sempat dilakukan di Leicester.
Kebijakan lockdown lokal juga bakal dirundingkan oleh pemerintah Perancis Jumat ini menyusul terjadinya kenaikan kasus. Melihat fenomena ini, kemungkinan terjadinya great lockdown jilid dua sebenarnya akan sangat dihindari mengingat ongkos ekonomi lockdown yang sangat besar.
Tengok saja China yang ekonominya anjlok lebih dari 6%, Uni Eropa yang drop 11,9% dan AS yang drop lebih dari 30%. Lockdown yang masif telah membuat ekonomi global sekarat dan mati suri. Bank Dunia dan IMF memproyeksikan ekonomi global menyusut 4,9% - 5,2% tahun ini.
Namun itu proyeksi Juni. Sekarang sudah September dan kondisi Covid-19 secara global masih belum menunjukkan ada tanda perbaikan yang signifikan. Jumlah kasus Covid-19 global sudah menyentuh 28 juta orang secara kumulatif.
Relaksasi lockdown sebelum herd immunity muncul memang sangat berisiko.Hanya saja vaksin yang ampuh dan aman saat ini belum tersedia.
Membiarkan infeksi alami untuk menciptakan imunitas kelompok tentu bukanlah opsi yang diinginkan karena harus lebih dari 40% populasi terinfeksi patogen ganas ini. Dampak sosial dari opsi ini sangatlah buruk sehingga bukan pilihan yang menarik untuk diambil.
Pandemi Covid-19 memang belum pernah terjadi sebelumnya. Meski tak sebesar pandemi flu spanyol 1918 silam, tetapi globalisasi membuat permasalahan saat ini menjadi semakin kompleks, terutama dalam konteks menyelamatkan kesehatan masyarakat, ekonomi dan juga kepentingan politik.
Sementara itu, meski sudah diumumkan Pemerintah DKI, kini bersama pusat keduanya tengah merapatkan ulang apakah PSBB total lagi atau tidak. Rencananya pengumuman akan dilakukan Minggu (13/9/2020) sore ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)[Gambas:Video CNBC]
