Disorot Pusat, Mungkinkah DKI Great Lockdown II Lagi?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
13 September 2020 07:26
SANKSI UNTUK PERUSAHAAN TIDAK TERTIB PSBB
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi Covid-19 di DKI Jakarta yang mengkhawatirkan membuat Gubernur Anies Baswedan menarik rem darurat dengan memberlakukan kembali PSBB total seperti saat awal pandemi mulai minggu depan.

Kasus infeksi baru di ibu kota terus melonjak ke rekor tertinggi barunya. Bahkan kemarin, 12 September 2020, angka kasus di Jakarta rekor kembali menjadi 1.205 atau menjadi 52.840 secara kumulatif.

Jika melihat angka reproduksi efektif virus (Rt) yang masih di atas 1 serta positive rate di atas 5% maka angka kejadian Covid-19 di Jakarta kemungkinan besar masih akan terus bertambah.

Angka Rt>1 mengindikasikan bahwa setiap satu orang positif Covid-19 dapat menularkan ke lebih dari 1 orang lain. Sementara positive rate di DKI Jakarta sampai dengan kemarin berada di angka 13,9%.

Secara sederhana dari 100 orang yang dites, ada 14 orang yang positif Covid-19. WHO mengatakan angka positive rate di atas 5% mengindikasikan pandemi belum terkendali.

Indikator-indikator di atas memang menunjukkan bahwa wabah Covid-19 di ibu kota memang mengerikan. Apabila kasus baru bertambah lebih cepat dari yang sembuh maka kapasitas rumah sakit akan penuh dan tenaga kesehatan akan semakin kewalahan.

Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Anies Baswedan. Meski soal rumah sakit yang penuh ini sempat mendapat respons dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kasus Covid-19 yang membludak dan muncul cluster-cluster baru di perkantoran adalah sebuah realita nyata.

Meski begitu, kebijakan Anies Baswedan tersebut banyak menuai pro dan kontra. Dengan adanya PSBB total yang bakal diterapkan itu bisa dipastikan bahwa ekonomi RI jatuh ke jurang resesi.

Sebagai ibu kota Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus jantung ekonomi Tanah Air. Ketika denyut jantung perekonomiannya melemah, maka ekonomi bisa sekarat.

Kue ekonomi yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta terhadap nasional pada kuartal kedua tahu ini sebesar 17,7% dan menjadi provinsi dengan kontribusi terbesar.

Ketika ekonomi DKI Jakarta ambrol 8,22% (yoy) pada tiga bulan kedua tahun ini, output perekonomian RI terkontraksi 5,32% (yoy) di saat yang sama. Tulang punggung ekonomi Jakarta dan Indonesia ditopang oleh konsumsi.

Saat PSBB diterapkan awal April lalu hingga akhir Mei konsumsi masyarakat drop dan menyeret ekonomi jatuh ke zona kontraksi. Saat kondisi epidemiologi mulai menunjukkan perbaikan, Anies Baswedan memutuskan untuk menerapkan PSBB transisi di bulan Juni.

Saat itu mobilitas publik mulai membaik. Jalanan ibu kota mulai dipadati dengan kendaraan roda dua maupun mobil. Orang-orang mulai kembali bekerja ke kantor. Namun di saat itu pula kasus di DKI Jakarta justru melonjak dengan sangat signifikan.

Mobilitas memang membaik, tetapi kegiatan perekonomian sebenarnya masih jauh dari kondisi normal. Hal ini terbukti dari terjadinya penurunan harga atau deflasi di ibu kota dalam dua bulan terakhir yaitu Juli dan Agustus. Kegiatan ekspor-impor juga belum pulih.

Melihat kondisi ini saja sebenarnya kuartal ketiga tidak bisa banyak diharapkan. Berlanjutnya kontraksi ekonomi di seperempat tahun ketiga 2020 adalah sebuah keniscayaan. Apalagi dengan diberlakukannya lockdown total yang akan diterapkan mulai Senin (14/9/2020).

Namun sebenarnya DKI Jakarta bukan satu-satunya wilayah yang mengambil kebijakan rem darurat dengan mengetatkan kembali pembatasan. Kasus serupa juga dijumpai di banyak negara.

Berbicara soal Covid-19, China sebagai episentrum awal wabah merupakan negara yang juga membuka restriksinya untuk pertama kali, terutama di kota Wuhan di awal April lalu saat kasus di dunia sedang ganas-ganasnya.

Kemudian ketika kasus Covid-19 mulai berangsur melandai di Benua Eropa, banyak negara yang mulai melonggarkan pembatasannya. Namun penggunaan masker dan sederet pembatasan lain di ruang publik masih diterapkan.

Hanya saja pelonggaran ini juga menimbulkan konsekuensi lain. Adanya kontak antara satu orang dengan orang lain membuat transmisi atau penularan virus kembali terjadi. Alhasil jumlah kasus pun melonjak.

Vietnam yang awalnya dipuji karena menjadi negara yang sukses mengendalikan Covid-19 pun akhirnya harus kelabakan karena mengalami lonjakan kasus yang signifikan dan kasus kematian pun mulai tercatat. Kasus-kasus ini juga banyak dijumpai di negara lain.

Sampai dengan 28 Juli lalu, ada 10 negara yang kembali menerapkan lockdown akibat adanya lonjakan kasus. Namun lockdown yang diterapkan ini tidaklah bersifat masif seperti sebelumnya.

Lockdown cenderung bersifat parsial atau terlokalisir. Negara-negara tersebut di antaranya Amerika Serikat (AS), Australia, Iran, Italia, Jerman, Norwegia, Spanyol, Vietnam bahkan China.

Beberapa negara seperti Spanyol, Amerika Serikat hingga Jerman sempat menginstruksikan beberapa wilayah yang mengalami peningkatan kasus untuk menutup bar yang menjadi sumber baru atau lokasi penularan. 

Beberapa negara seperti Italia dan Jerman juga memmberikan larangan bepergian secara khusus ke negara atau kota tertentu yang mengalami kenaikan jumlah kasus. Lockdown spasial dalam lingkup kota juga sempat dilakukan di Leicester. 

Kebijakan lockdown lokal juga bakal dirundingkan oleh pemerintah Perancis Jumat ini menyusul terjadinya kenaikan kasus. Melihat fenomena ini, kemungkinan terjadinya great lockdown jilid dua sebenarnya akan sangat dihindari mengingat ongkos ekonomi lockdown yang sangat besar.

Tengok saja China yang ekonominya anjlok lebih dari 6%, Uni Eropa yang drop 11,9% dan AS yang drop lebih dari 30%. Lockdown yang masif telah membuat ekonomi global sekarat dan mati suri. Bank Dunia dan IMF memproyeksikan ekonomi global menyusut 4,9% - 5,2% tahun ini.

Namun itu proyeksi Juni. Sekarang sudah September dan kondisi Covid-19 secara global masih belum menunjukkan ada tanda perbaikan yang signifikan. Jumlah kasus Covid-19 global sudah menyentuh 28 juta orang secara kumulatif.

Relaksasi lockdown sebelum herd immunity muncul memang sangat berisiko.Hanya saja vaksin yang ampuh dan aman saat ini belum tersedia.

Membiarkan infeksi alami untuk menciptakan imunitas kelompok tentu bukanlah opsi yang diinginkan karena harus lebih dari 40% populasi terinfeksi patogen ganas ini. Dampak sosial dari opsi ini sangatlah buruk sehingga bukan pilihan yang menarik untuk diambil.

Pandemi Covid-19 memang belum pernah terjadi sebelumnya. Meski tak sebesar pandemi flu spanyol 1918 silam, tetapi globalisasi membuat permasalahan saat ini menjadi semakin kompleks, terutama dalam konteks menyelamatkan kesehatan masyarakat, ekonomi dan juga kepentingan politik.

Sementara itu, meski sudah diumumkan Pemerintah DKI, kini bersama pusat keduanya tengah merapatkan ulang apakah PSBB total lagi atau tidak. Rencananya pengumuman akan dilakukan Minggu (13/9/2020) sore ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular