
Disorot Pusat, Mungkinkah DKI Great Lockdown II Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi Covid-19 di DKI Jakarta yang mengkhawatirkan membuat Gubernur Anies Baswedan menarik rem darurat dengan memberlakukan kembali PSBB total seperti saat awal pandemi mulai minggu depan.
Kasus infeksi baru di ibu kota terus melonjak ke rekor tertinggi barunya. Bahkan kemarin, 12 September 2020, angka kasus di Jakarta rekor kembali menjadi 1.205 atau menjadi 52.840 secara kumulatif.
Jika melihat angka reproduksi efektif virus (Rt) yang masih di atas 1 serta positive rate di atas 5% maka angka kejadian Covid-19 di Jakarta kemungkinan besar masih akan terus bertambah.
Angka Rt>1 mengindikasikan bahwa setiap satu orang positif Covid-19 dapat menularkan ke lebih dari 1 orang lain. Sementara positive rate di DKI Jakarta sampai dengan kemarin berada di angka 13,9%.
Secara sederhana dari 100 orang yang dites, ada 14 orang yang positif Covid-19. WHO mengatakan angka positive rate di atas 5% mengindikasikan pandemi belum terkendali.
Indikator-indikator di atas memang menunjukkan bahwa wabah Covid-19 di ibu kota memang mengerikan. Apabila kasus baru bertambah lebih cepat dari yang sembuh maka kapasitas rumah sakit akan penuh dan tenaga kesehatan akan semakin kewalahan.
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Anies Baswedan. Meski soal rumah sakit yang penuh ini sempat mendapat respons dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kasus Covid-19 yang membludak dan muncul cluster-cluster baru di perkantoran adalah sebuah realita nyata.
Meski begitu, kebijakan Anies Baswedan tersebut banyak menuai pro dan kontra. Dengan adanya PSBB total yang bakal diterapkan itu bisa dipastikan bahwa ekonomi RI jatuh ke jurang resesi.
Sebagai ibu kota Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus jantung ekonomi Tanah Air. Ketika denyut jantung perekonomiannya melemah, maka ekonomi bisa sekarat.
Kue ekonomi yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta terhadap nasional pada kuartal kedua tahu ini sebesar 17,7% dan menjadi provinsi dengan kontribusi terbesar.
Ketika ekonomi DKI Jakarta ambrol 8,22% (yoy) pada tiga bulan kedua tahun ini, output perekonomian RI terkontraksi 5,32% (yoy) di saat yang sama. Tulang punggung ekonomi Jakarta dan Indonesia ditopang oleh konsumsi.
Saat PSBB diterapkan awal April lalu hingga akhir Mei konsumsi masyarakat drop dan menyeret ekonomi jatuh ke zona kontraksi. Saat kondisi epidemiologi mulai menunjukkan perbaikan, Anies Baswedan memutuskan untuk menerapkan PSBB transisi di bulan Juni.
Saat itu mobilitas publik mulai membaik. Jalanan ibu kota mulai dipadati dengan kendaraan roda dua maupun mobil. Orang-orang mulai kembali bekerja ke kantor. Namun di saat itu pula kasus di DKI Jakarta justru melonjak dengan sangat signifikan.
Mobilitas memang membaik, tetapi kegiatan perekonomian sebenarnya masih jauh dari kondisi normal. Hal ini terbukti dari terjadinya penurunan harga atau deflasi di ibu kota dalam dua bulan terakhir yaitu Juli dan Agustus. Kegiatan ekspor-impor juga belum pulih.
Melihat kondisi ini saja sebenarnya kuartal ketiga tidak bisa banyak diharapkan. Berlanjutnya kontraksi ekonomi di seperempat tahun ketiga 2020 adalah sebuah keniscayaan. Apalagi dengan diberlakukannya lockdown total yang akan diterapkan mulai Senin (14/9/2020).
Namun sebenarnya DKI Jakarta bukan satu-satunya wilayah yang mengambil kebijakan rem darurat dengan mengetatkan kembali pembatasan. Kasus serupa juga dijumpai di banyak negara.
