Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi perekonomian Indonesia, kelas menengah adalah KOENTJI [Baca: Kunci]. Jatuh bangun ekonomi nasional akan ditentukan oleh kelompok yang merasa alam semesta berputar di sekitar mereka tersebut.
Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class, jumlah populasi kelas menengah Indonesia adalah 52 juta jiwa. Satu dari lima warga negara Indonesia berstatus kelas menengah, yang dicirikan dengan status ekonomi yang mapan dan tidak rentan jatuh ke jurang kemiskinan.
Kalau menurut lembaga yang berbasis di Washington DC (Amerika Serikat/AS) itu, kelas menengah punya pengeluaran Rp 1,2-6 juta per orang per bulan. Kelompok ini tumbuh 10% per tahun dan punya peran yang semakin penting dalam perekonomian nasional.
"Konsumsi kelas menengah naik 12% per tahun sejak 2002 dan saat ini mewakili separuh dari konsumsi rumah tangga di Indonesia. Kencangnya pertumbuhan konsumsi kelas menengah berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam setengah abad terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,6% per tahun," tulis laporan Bank Dunia.
 Bank Dunia |
Oleh karena itu, kunci mendorong pertumbuhan ekonomi adalah bagaimana membuat kelas menengah ngehe ini mau belanja, mau melakukan konsumsi. Sepanjang mereka mau mengeluarkan uang, terutama untuk membeli barang tahan lama (durable goods) yang bukan sekadar kebutuhan pokok, maka ekonomi bakal tumbuh.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Kelas Menengah Tiarap!
Masalahnya, sekarang awan kelam sedang memayungi kelas menengah. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat kelas ini jadi enggan (atau takut) melakukan konsumsi.
Ini tergambar dari Survei Konsumen edisi Agustus 2020 yang dirilis Bank Indonesia (BI). Responden dengan pengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan, yang notabene kelas menengah, punya skor paling rendah dalam hal Indeks Pembelian Barang Tahan Lama.
Mengapa kelas menengah masih ragu berbelanja? Sepertinya terkait dengan indeks lainnya yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini. Responden di kelompok pengeluaran Rp 3,1-4 juta, yang juga termasuk kelas menengah, punya skor terendah di antara kelompok lainnya.
Saat persepsi akan penghasilan begitu suram, wajar pengeluaran yang tidak pokok ditunda dulu. Sebab, tidak ada yang tahu besok masih punya penghasilan atau tidak. Lebih baik bersiap untuk skenario terburuk.
Ya, kelas menengah ternyata punya persepsi paling pesimistis soal lapangan kerja. Terbukti dari Indeks Ketersediaan Lapangan kerja, di mana skor paling rendah ada di kelompok responden berpengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan.
Jadi, akar permasalahan mengapa kelas menengah enggan berbelanja adalah ketidakpastian soal penghasilan dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang gelombang PHK belum berakhir, maka jangan harap kelas menengah rela mengeluarkan uang untuk berbelanja.
Ini yang sulit. Pandemi virus corona telah memukul ekonomi di dua sisi sekaligus. Pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu membuat aktivitas ekonomi mati suri, baik di sisi permintaan maupun produksi.
Memang betul pemerintah sudah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak Juni. Namun belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi, masih ada pembatasan di sana-sini.
Misalnya di DKI Jakarta, restoran, pusat perbelanjaan, perkantoran, sampai lokasi wisata sudah boleh dibuka kembali dalam payung PSBB Transisi. Akan tetapi pengunjung dibatasi maksimal 50% dan harus patuh protokol kesehatan.
Dalam skala ekonomi yang belum optimal ini, dunia usaha tentu tidak bisa menggunakan tenaga kerja sebanyak dulu. Harus ada efisiensi, adaptasi, menyesuaikan dengan skala yang ada saat ini. Oleh karena itu, mungkin sebagian dari mereka yang menjadi korban PHK akan sulit tertampung kembali sepanjang situasi belum normal lagi.
Jadi jangan salahkan kelas menengah yang memilih untuk menabung ketimbang konsumsi. Lebih baik selamatkan diri dan keluarga masing-masing, karena tidak ada yang tahu apakah besok masih bisa bekerja atau tidak.
Ketika kelas menengah, sang juru selamat konsumsi rumah tangga, masih menahan diri, maka jangan harap ekonomi bisa tumbuh seperti dulu lagi. Pertumbuhan negatif alias kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sebuah keniscayaan.
"Kunci utama adalah konsumsi dan investasi. Kalau tetap negatif, meski pemerintah sudah all out, maka akan sulit masuk netral. Tidak bisa (PDB) mendekati 0% dan bisa negatif kalau kelas menengah dan atas belum recovery," ungkap Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.
Pada kuartal II-2020, Indonesia sudah mencatatkan kontraksi PDB sebesar 5,32% year-on-year (YoY). Kalau kuartal III-2020 ada kontraksi lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi. Sepertinya peluang ke sana sangat besar sepanjang kelas menengah masih 'tiarap'.
TIM RISET CNBC INDONESIA