Penjualan Mobil Paling Hancur se-G20, RI Bersiap Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 August 2020 11:57
Penjualan Kendaraan (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Ilustrasi Penjualan Mobil (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan mobil menjadi salah satu indikator penting dalam meneropong arah perekonomian satu negara. Saat penjualan mobil masih 'tiarap', sulit berharap prospek ekonomi bakal cerah termasuk di Indonesia.

Apesnya, sepertinya ini yang sedang kejadian. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah merusak seluruh tatanan masyarakat. Gara-gara virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, masyarakat jadi berjarak karena khawatir tertular. Aktivitas ekonomi pun menyusut drastis, karena pemberlakuan pembatasan sosial (social distancing).

Wabah virus corona sempat memaksa miliaran penduduk dunia terpenjara #dirumahaja. Kini memang sudah ada pelonggaran, tetapi belum bisa normal seperti sebelum pandemi. Tetap ada pembatasan di sana-sini atas nama protokol kesehatan.

Minimnya aktivitas publik membuat roda ekonomi seakan berhenti berputar. Pelambatan ekonomi bahkan kontraksi (pertumbuhan negatif) terjadi di hampir seluruh negara. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun menjadi fenomena global.

Dengan kondisi seperti ini, sulit berharap masyarakat bisa menyisihkan sebagian pendapatan untuk membeli barang-barang tahan lama (durable goods). Urusan perut menjadi yang paling utama, selain itu nanti dulu.

Nah, inilah mengapa penjualan mobil menjadi data yang penting. Penjualan mobil adalah salah satu indikator mula (leading indicator) untuk melihat arah ekonomi ke depan, ekspansi atau kontraksi.

Saat orang-orang berkenan untuk membeli mobil, yang merupakan kebutuhan sekunder bahkan tersier, maka itu adalah cerminan kuatnya daya beli. Sebaiknya kalau penjualan mobil lesu, maka itu tandanya ekonomi sulit tumbuh karena orang terlalu sibuk memenuhi kebutuhan primer. Tidak ada ruang bagi akselerasi ekonomi.

Di AS, data penjualan mobil bahkan dipakai untuk mengukur kemungkinan resesi. Saat penjualan mobil turun 2% atau lebih, maka resesi sudah di depan mata.

Sejak 1977, AS sudah mengalami empat kali resesi yang dicerminkan oleh kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun. Biasanya resesi didahului oleh kejatuhan penjualan mobil. Oleh karena itu, melihat data penjualan mobil untuk meramal kemungkinan menjadi hal yang masuk akal.

Mengutip data Marklines, penjualan mobil di negara-negara G20 (minus Arab Saudi dan Uni Eropa) sebagian besar masih turun. Jangankan turun 2%, anjlok belasan atau puluhan persen menjadi pemandangan yang biasa.

Kabar buruknya, Indonesia menjadi negara dengan penjualan mobil paling ambles. Pada Juli 2020, penjualan mobil di Tanah Air tercatat 25.283 unit. Dibandingkan bulan sebelumnya, memang ada lonjakan tajam yaitu 100,2%.

Namun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) masih ambles -71,8%. Bahkan pada April dan Mei 2020, penjualan YoY ambles sampai masing-masing 90% dan 95%.

Dengan memasukkan skenario di AS, di mana resesi diawali dengan ambrolnya penjualan mobil, maka bukan tidak mungkin Indonesia bisa masuk ke zona resesi. Sekarang mungkin belum, karena meski ekonomi kuartal II-2020 terkontraksi 5,32% YoY tetapi kuartal sebelumnya masih tumbuh 2,97% YoY.

Namun kalau berbagai tanda-tanda resesi semakin banyak dan kian kuat, maka bakal sulit buat Indonesia untuk bertahan di zona pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal III-2020 yang jadi penentu. Jika resesi sampai terjadi (amit-amit), sebaiknya kita semua perlu bersiap sedari sekarang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular