
Penjualan Mobil Paling Hancur se-G20, RI Bersiap Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan mobil menjadi salah satu indikator penting dalam meneropong arah perekonomian satu negara. Saat penjualan mobil masih 'tiarap', sulit berharap prospek ekonomi bakal cerah termasuk di Indonesia.
Apesnya, sepertinya ini yang sedang kejadian. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah merusak seluruh tatanan masyarakat. Gara-gara virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, masyarakat jadi berjarak karena khawatir tertular. Aktivitas ekonomi pun menyusut drastis, karena pemberlakuan pembatasan sosial (social distancing).
Wabah virus corona sempat memaksa miliaran penduduk dunia terpenjara #dirumahaja. Kini memang sudah ada pelonggaran, tetapi belum bisa normal seperti sebelum pandemi. Tetap ada pembatasan di sana-sini atas nama protokol kesehatan.
Minimnya aktivitas publik membuat roda ekonomi seakan berhenti berputar. Pelambatan ekonomi bahkan kontraksi (pertumbuhan negatif) terjadi di hampir seluruh negara. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun menjadi fenomena global.
Dengan kondisi seperti ini, sulit berharap masyarakat bisa menyisihkan sebagian pendapatan untuk membeli barang-barang tahan lama (durable goods). Urusan perut menjadi yang paling utama, selain itu nanti dulu.
Nah, inilah mengapa penjualan mobil menjadi data yang penting. Penjualan mobil adalah salah satu indikator mula (leading indicator) untuk melihat arah ekonomi ke depan, ekspansi atau kontraksi.
Saat orang-orang berkenan untuk membeli mobil, yang merupakan kebutuhan sekunder bahkan tersier, maka itu adalah cerminan kuatnya daya beli. Sebaiknya kalau penjualan mobil lesu, maka itu tandanya ekonomi sulit tumbuh karena orang terlalu sibuk memenuhi kebutuhan primer. Tidak ada ruang bagi akselerasi ekonomi.