
Harga Gas Industri Turun, Ada Angin Segar Buat Ekonomi Nih

Jakarta, CNBC Indonsia - Pemerintah menerapkan harga gas khusus yang dijual ke sektor industri maksimal US$ 6 per MMBTU. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Direktur Komersial PGN Fariz Aziz mengatakan dengan implemenasi harga gas khusus ini demand akan naik dan ekonomi akan bergerak naik. Implementasi dari aturan harga khusus industri ini sudah dimulai sejak April 2020 lalu.
Menurutnya pada bulan Mei permintaan gas sudah mulai naik, Juni mulai ada peningkatan, dan Juli terhitung ada peningkatan sebesar 5,8% dibandingkan bulan Juni. "Ekonomi Indonesia akan bergerak naik, demand naik sejak Mei, Juni peningkatan, dan Juli ini sudah ada peningkatan 5,8% dibandingkan Juni," ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis, (06/08/2020).
Melalui harga gas yang dipatok maksimal US$ 6 per MMBTU bagi tujuh sektor industri, maka industri yang menikmati ini akan bergerak cepat dalam menyerap gas. Sehingga bisa berproduksi lebih banyak dan ekonomi Indonesia akan lebih cepat tumbuh.
"PGN berharap tren naik lebih tinggi dari penyerapan industri. Sehingga bisa tumbuh, sektor tenaga kerja bisa terserap lebih banyak, ekonomi akan lebih baik ke depan," tuturnya.
Jadi Pertimbangan Investor
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko menyebut dampak dari penurunan harga gas ini berdampak pada penurunan penerimaan negara Rp 87,4 triliun. Namun berdampak pada penghematan pemerintah sebesar Rp 97,8 triliun. Sehingga keuntungan dari penurunan dari harga gas sebesar Rp 10,4 triliun.
"Secara umum nilai penurunan harga gas ciptakan multiplier effect, baik tenaga kerja maupun ekspansi industri. Volume yang terdampak sebagian saja 45 - 50% untuk penurunan harga gas," ucapnya.
Ia mengatakan penurunan harga gas juga berdampak pada pengambilan keputusan dalam berinvestasi. Misalnya Chevron, Chonocophillips, Shell, Repsol menentukan Internal Rate of Return (IRR) lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan moderate atau yang lebih kecil. Selian itu, Net Present Value (NPV) dan faktor lain juga menjadi pertimbangan.
"Harga gas keekonomian akan sangat berpengaruh penerimaan kontraktor, NPV, IRR, dan lainnya," ujaranya.
Ia menyebut saat ini sedang berlangsung diskusi a lot dengan Repsol untuk menentukan harga gas hulu di Blok Sakakemang, Sumatera Selatan. Diskusi berjalan a lot karena mereka meminta harga gas dijual di atas US$ 7 per MMBTU.
Sementara aturan saat ini adalah harga gas yang dijual di sektor industri adalah maksimal US$ 6 per MMBTU. "Saat ini kita dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut atau tidak karena harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga yang kita coba bisa jual di Indonesia," tuturnya
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Gas US$6 Bikin Negara Rugi Tapi Untung Juga, Kok Bisa?