
Pengusaha Blak-blakan Ungkap 'Kekacauan' Gas Industri

Jakarta, CNBC Indonesia - Pabrikan pengguna gas harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang seiring rencana Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bakal memberlakukan kenaikan harga gas industri mulai Oktober nanti. Wakil Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengungkapkan, kebijakan baru tersebut membuat 7 sektor industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bakal mengikuti aturan baru.
"Mereka anggap semua harga yang mereka bungkus dalam bonus atau paket itu berlaku semua tidak dipilih. Jadi berlawanan dengan Kepmen terakhir (Kepmen ESDM 91/2023) yang pemerintah coba kasih ke industri belum dapat semua tapi malah dipersulit," katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/8/2023).
"Sektor prioritas seperti pupuk dan sebagainya itu belum menyeluruh. Saya perusahaan keramik dapat, yang lain nggak, itu beresin dulu. Dia belum tertibkan itu, dia bikin paket dan paket itu berlaku semua. Nggak peduli itu siapa. Jadi bakal hilang yang 7 sektor. Nggak ada HGBT dan non HGBT, nggak ada lagi," lanjutnya.
Selama ini ada tujuh sektor prioritas industri yang mendapat harga gas murah US$ 6 per MMBTU yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca serta sarung tangan karet. Namun, baru sebagian perusahaan dari masing-masing sektor yang mendapat subsidi, bukan seluruhnya. Namun, alih-alih mendapat subsidi, Achmad mengungkapkan bahwa subsidi itu bakal terhapus.
Mengutip surat edaran dari PGN kepada para pelanggan yang diperoleh CNBC Indonesia, terdapat sejumlah kenaikan harga gas berdasarkan kategori. Misalnya seperti pelanggan Gold dipatok menjadi US$ 11,89 per MMBtU dari yang sebelumnya US$ 9,16 per MMBTU.
Pelanggan Silver dipatok US$ 11,99 per MMBtU, sebelumnya hanya US$ 9,78 per MMBTU. Pelanggan Bronze 3 dipatok sebesar US$ 12,31 per MMBTU sebelumnya US$ 9,16 per MMBTU. Padahal, selama ini industri sudah harus membayar charge jika nilanya melebihi atau kurang dari nilai kontrak.
"Paket-paket yang diluncurkan itu sudah tidak masuk ke dalam hitungan kita karena paket-paket itu PGN sudah diberlakukan minimum surcharge dan max surcharge, udah jalan. Jadi jika di bawah kontrak kena surcharge, di atas kontrak kena 135%. Misal kontrak 25.000 MMBTU, begitu pake 25.000 MMBTU tetap bayar 25.000, tapi kalau pake 30.000 selisih 5.000 dihitung 135% maksimum. Semua surcharge ditulisnya di atas rata-rata 100% ke atas, itu kan kejam," ujar Achmad.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Kaget, Harga Gas Industri Resmi Naik di Atas 6 Dolar!