Orang Asing Boleh Miliki Apartemen di RI, Ini Keuntungannya

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
29 July 2020 11:55
iwantono
Foto: Dokumen Pribadi

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepemilikan properti berupa apartemen oleh warga negara asing (WNA) di Indonesia sedang digodok dasar hukumnya melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law. Bila kebijakan ini bisa terealisasi diyakini akan memiliki banyak manfaatnya bagi ekonomi.

Managing Director Institute of Developing Economies & Entrepreneurship (IDEE) Sutrisno Iwantono mengatakan isu kepemilikan properti bagi orang asing memang sudah lama diwacanakan di Indonesia. Di negara lain juga sudah dilaksanakan tentang cara pemilikan properti untuk orang asing, seperti di Singapura, Malaysia dan lainnya. 

Di Indonesia memang sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 tahun 2015, tapi orang asing hanya diberi izin dalam bentuk hak pakai atas satuan rumah susun (sarusun). Berbeda dengan RUU Omibus Law yang sedang dibahas oleh DPR, yakni hak milik sarusun bagi WNA.

"Menurut saya itu bisa mendongkrak industri properti yang terpuruk beberapa tahun terakhir ini, apalagi di tengah pandemi ini terjadi keterpurukan yang serius. Sebenarnya properti itu kan nggak ada barang yang nantinya bisa dibawa keluar negeri, beli apartemen misalnya barangnya tetap di sini," kata Iwantono kepada CNBC Indonesia, Rabu (29/7).

Ia menjelaskan saat orang asing bisa membeli properti di Indonesia maka ada uang yang masuk ke Indonesia, sehingga bisa melonggarkan tekanan devisa dan kekeringan likuiditas di masyarakat.

"Karena itu prosedur dan administrasi pembelian oleh orang asing ini perlu diperlancar, misalnya tidak harus memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas), cukup hanya visa multi entry untuk waktu 3 sampai 5 tahun," katanya.

Iwantono mengusulkan sebaiknya status kepemilikan properti WNA tidak perlu dibedakan dengan WNI, juga jangka waktu kepemilikan juga jangan terlalu pendek. Ia mencontohkan di negara lain sampai ada yang 90 tahun, walaupun pemberiannya bisa dilakukan secara bertahap.

Menurutnya relaksasi kepemilikan properti bagi orang asing akan berdampak positif bagi ekonomi terutama sektor properti yang saat ini sedang terpuruk. Ia mengungkapkan properti komersial indeks untuk segmen komersial turun dari 0,52% triwulan IV-2019 menjadi 0,41% pada triwulan I-2020, untuk triwulan II-2020 lebih parah.

"Sektor-sektor lain sisi demand memang mengalami gangguan, seperti perhotelan yang sangat terpuruk dengan tingkat hunian sekitar 10-30%, sehingga tidak memungkinkan mereka membangun hotel baru," katanya.

Khusus apartemen yang menjadi sektor yang memungkinkan dimiliki oleh orang asing juga mengalami keterpurukan saat ini. Saat ini segmen apartemen, banyak pekerjaan yang hilang dan banyak orang yang tidak mampu membayar sewa rumah atau Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

"Pembelian masih ada tetapi pembeliannya terus menurun. Sedangkan untuk sektor retail, yang parah lagi, mall masih tutup kalau buka juga sangat terbatas, sehingga pembangunan," katanya.

Ia menekankan pentingnya membangkitkan sektor properti apalagi Indonesia harus melakukan pemulihan saat pandemi covid-19 berakhir nantinya. Hal ini karena sektor properti merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.

Iwantono mengungkapkan menurut kajian dari Apindo, Kadin, dan Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) bahwa tenaga kerja langsung maupun tidak langsung pada sektor properti sebanyak 30,34 juta pekerja. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 11,17 juta tenaga kerja pada 175 industri turunan properti.

Sedangkan untuk total tenaga kerja di sektor properti mencapai 19,16 juta yang terdiri atas 44.738 pekerja di perusahaan terbuka, pengembang hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan non-terbuka sebanyak 18,79 juta tenaga kerja, serta pengembang MBR sebanyak 327.625 tenaga kerja.

"Apabila industri properti jatuh dalam krisis, maka sebagian hingga seluruh pekerja tersebut akan terancam terganggu penghasilannya hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itulah yang saya pahami dari keluhan teman-teman di industri ini," katanya.

Ia mengatakan ada sejumlah usulan yang disampaikan pelaku usaha properti antara lain: restrukturisasi kredit, keringanan cicilan dan bunga, perpajakan seperti PPh 21, penurunan PPh Final jual tanah 2,5 persen menjadi 1 persen berdasarkan nilai aktual transaksi, bukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Juga soal Biaya Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)  yang mahal dan validasinya rumit sehingga mengurungkan niat beli konsumen. Ia juga mengusulkan agar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) jangan dulu dinaikkan oleh para pemda.

Selain itu, perjanjian jual beli (PPJB) tak perlu pakai Notaris karena biayanya mahal. Beban listrik dengan abodemen minimal harusnya ditiadakan harus sesuai pemakaian saja. Yang tak kalah penting adalah perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG); dan Sertifikat Laik Pakai (SLF) pada gedung bertingkat, termasuk aturan tata ruang.

"Hal-hal ini selayaknya dilonggarkan agar industri ini bisa menggeliat, dan tidak luluh. Kita berharap dalam pembahasan Omnibus Law yang saat ini sedang dilakukan antara pemerintah dan DPR hal-hal ini kiranya mendapat perhatian," katanya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anies Patok Harga Jual Rusun di DKI Rata-rata Rp 11,2 Juta/m2

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular