Ramai Tagar #IndonesiaDijarahTiongkok, Cek Dulu Fakta Ini

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 July 2020 16:45
Pertemuan Jokowi dan Xi Jinping di G20 (Biro Pers Kesekretariat Presiden/Laily Rachev)
Foto: Pertemuan Jokowi dan Xi Jinping di G20 (Biro Pers Kesekretariat Presiden/Laily Rachev)

RI-China Saling Butuh

Di era globalisasi seperti sekarang ini, tak ada satu negara yang dapat berdikari. Layaknya makhluk sosial, satu negara juga bergantung pada negara lain yang dihubungkan melalui aktivitas perdagangan, aliran investasi serta mobilitas publik yang membentuk rantai pasok global.

Sebagai negara yang digadang-gadang sebagai raksasa ekonomi global pada 2045 nantinya, RI-China mencoba membangun hubungan yang mutualisme. RI menjadi pemasok utama komoditas seperti batu bara, CPO hingga bijih mineral ke China. 

Pada saat yang sama, Indonesia banyak mengimpor barang-barang elektronik seperti handphone hingga peralatan manufaktur lainnya yang dibutuhkan untuk industri RI. China menjadi mitra dagang terbesar RI. Nilai perdagangan RI-China tercatat mencapai US$ 72,8 miliar pada 2018 atau nyaris 8% dari PDB RI. 

Indonesia termasuk dalam anggota ASEAN. Seperti diketahui bersama bahwa ASEAN dan China juga terlibat dalam suatu kesepakatan dagang yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Melalui payung tersebut, aliran barang dan aktivitas perdagangan antara dua wilayah bisa semakin didorong sebagai bentuk kerja sama multilateral.

Selain perdagangan, China juga menjadi salah satu investor strategis bagi RI. Hal ini dibuktikan dengan nilai penanaman modal asing (PMA) asal China yang besar. China masuk sebagai negara dengan nilai investasi terbesar di Indonesia. 

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi PMA China ke RI mencapai US$ 2,4 miliar pada paruh pertama tahun ini dan menjadi investor terbesar kedua setelah Singapura. 

Jika berkaca pada dua contoh di atas (RI dan AS) sebenarnya hubungan suatu negara dengan negara lain dibentuk oleh asas saling membutuhkan. Tak hanya RI saja yang membutuhkan China, tetapi AS juga. Begitu juga sebaliknya, asas ini juga berlaku untuk negara-negara lain. 

Pertumbuhan populasi yang pesat dan ditopang dengan masyarakat kelas menengah yang tinggi membuat China merupakan pasar yang sangat besar dan menarik untuk digarap.

Lantas Benarkah RI Dijarah Tiongkok?

Dengan adanya globalisasi dan dunia yang bertumpu pada China maka munculnya kekuatan ekonomi baru (China) pada dasarnya merupakan sebuah konsekuensi yang tak dapat terelakkan.

Sehingga pernyataan #IndonesiaDijarahTiongkok pada dasarnya perlu disoroti dan dikaji lebih objektif mengingat banyak negara lain (selain RI & AS) yang tekor berdagang dengan China.  Ini semua harus dipandang sebagai konsekuensi keajaiban ekonomi Negeri Panda dan fenomena globalisasi.

Sentimen negatif terhadap China sebenarnya tak terlepas dari fenomena global yang terus berkembang. Semula berasal dari AS yang menuding praktik dagang China tidak menjunjung asas fairness. China dianggap sebagai manipulator nilai tukar. 

Kemudian sejak ada pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), China menjadi kembali sorotan publik global di tengah AS yang terus menggulirkan narasi bahwa China telah merampas kebebasan umum melalui UU Keamanan Hong Kong, kekerasan terhadap komunitas muslim minoritas Uighur hingga kedaulatan negara di Laut China Selatan.

Pada dasarnya sentimen publik global terhadap China sudah terbelah sebelum pandemi hadir. Berdasarkan survei Pewresearch, sentimen negatif terhadap China banyak dijumpai di AS dan Canada. Sementara negara-negara maju lain juga mulai memiliki sentimen buruk terhadap Negeri Panda.

Jika ditambah dengan ekonomi China yang mampu bangkit paling awal dari serangan pandemi, tentu ini akan semakin membangkitkan kecemburuan sosial dan kian menguatkan sentimen negatif terhadap China.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular