Ramai Tagar #IndonesiaDijarahTiongkok, Cek Dulu Fakta Ini

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 July 2020 16:45
Jokowi dan Xi Jinping
Foto: Biro Pers Istana

Jakarta, CNBC Indonesia - Jagad media sosial twitter kali ini dihebohkan dengan #IndonesiaDijarahTiongkok. Tagar tersebut muncul atas kekecewaan warganet yang menilai bahwa pemerintah terlalu berpihak pada China. 

Berbagai isu digulirkan di dunia maya. Namun topik yang paling hangat diperbincangkan memiliki benang merah yang mengarah pada satu hal yaitu imperialisme China yang mencengkeram kedaulatan RI di bidang sosial, ekonomi hingga politik. 

Di bidang perdagangan, banyak banjir barang-barang impor asal China yang membuat industri Tanah Air tak berkembang. Dari sisi ketenagakerjaan, warganet menilai bahwa pemerintah jauh lebih mementingkan pekerja China ketimbang tenaga kerja dalam negeri. 

Sebenarnya masih banyak lagi yang dibahas sehingga #IndonesiaDijarahTiongkok menjadi viral di dunia maya. Namun benarkah RI sedang dijajah oleh Negeri Tirai Bambu? 

Berkaca pada Sejarah China

Jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya tak terlepas dari eksistensi China sebagai raksasa ekonomi global. Untuk itu akan lebih bijak jika kita berkaca pada sejarah. Sekarang mari kembali ke tahun 70-an. Kala itu China mulai melakukan transformasi besar-besaran pada ekonominya. 

Kesuksesan China menjadi raksasa global berawal dari serangkaian reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989). Reformasi telah membawa perekonomian China yang dulu terisolasi menjadi lebih terbuka. Semenjak saat itu ekonomi China tumbuh di atas 10% rata-rata per tahun. Jelas ini angka yang fantastis.

GDP ChinaSumber : CNBC International

Melimpahnya pasokan tenaga kerja yang murah disertai dengan sistem ekonomi yang mulai terbuka telah mendatangkan banyak investasi ke negara tersebut. Banyak pengusaha global yang merelokasi pabriknya ke China. 

Alhasil China sukses menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia pada 2010 dan menyalip Jepang. Bahkan jika menggunakan indikator purchasing-power parity yang mengukur seberapa mahal nilai tukar suatu negara terhadap negara lain (AS), ekonomi China sebenarnya sudah menjadi yang nomor wahid di planet bumi sejak 2017.

China juga menyandang predikat sebagai pusat pabriknya dunia atau dalam bahasa bekennya 'global manufacturing hub'. Pangsa produksi manufaktur China mencapai 28% dari total output global.

Kemampuan China untuk membuat berbagai produk manufaktur mulai dari mainan anak, tekstil, komponen automotif hingga teknologi ponsel cerdas yang murah membuat banyak produk made in China membanjiri banyak negara termasuk RI.

Masuknya China ke organisasi perdagangan dunia (WTO) pada 2001 semakin mengukuhkan posisi China sebagai bagian dari pusat manufaktur dan perdagangan dunia.

Menurut studi yang dilakukan oleh lembaga konsultan manajemen global McKinsey yang menganalisis 186 negara, China menjadi destinasi ekspor terbesar 33 negara dan sumber impor terbesar bagi 65 negara.

Trade ChinaSumber : CNBC International

Kendaraan lain yang membuat China semakin kuat posisinya adalah investasi. China terus tumbuh dan menjadi salah satu pemain global dalam aliran investasi. Dalam periode 2015-2017, China telah menjadi sumber investasi terbesar kedua di dunia dan menjadi penerima aliran investasi terbesar kedua di dunia, menurut McKinsey.

Investment FlowSumber : CNBC International

Banyak yang Bergantung Pada China, Salah Satunya AS...

Data di atas sudah menjadi cukup bukti bahwa China memang menjadi poros kekuatan baru. Banyak negara di planet bumi yang bergantung pada China. Bahkan Amerika Serikat (AS) sebagai Negara Adikuasa di dunia sekaligus rivalnya.

Hubungan Washington-Beijing mulai retak saat Presiden AS ke-45 Donald Trump naik ke tampuk kepemimpinan. Trump menuding China melakukan praktik dagang yang tidak menjunjung tinggi asas keadilan (fairness). 

Masyarakat AS sangatlah bergantung pada produk-produk murah asal China. Sementara para petani AS terutama petani kedelai juga bertumpu pada pasar China yang besar. 

Dari sisi aliran modal (capital flow), China juga berperan sebagai pembeli terbesar surat utang pemerintah AS setelah Jepang. Hal ini membuktikan bahwa AS juga membutuhkan China.

HALAMAN SELANJUTNYA >> BENARKAH RI DIJARAH TIONGKOK?

RI-China Saling Butuh

Di era globalisasi seperti sekarang ini, tak ada satu negara yang dapat berdikari. Layaknya makhluk sosial, satu negara juga bergantung pada negara lain yang dihubungkan melalui aktivitas perdagangan, aliran investasi serta mobilitas publik yang membentuk rantai pasok global.

Sebagai negara yang digadang-gadang sebagai raksasa ekonomi global pada 2045 nantinya, RI-China mencoba membangun hubungan yang mutualisme. RI menjadi pemasok utama komoditas seperti batu bara, CPO hingga bijih mineral ke China. 

Pada saat yang sama, Indonesia banyak mengimpor barang-barang elektronik seperti handphone hingga peralatan manufaktur lainnya yang dibutuhkan untuk industri RI. China menjadi mitra dagang terbesar RI. Nilai perdagangan RI-China tercatat mencapai US$ 72,8 miliar pada 2018 atau nyaris 8% dari PDB RI. 

Indonesia termasuk dalam anggota ASEAN. Seperti diketahui bersama bahwa ASEAN dan China juga terlibat dalam suatu kesepakatan dagang yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Melalui payung tersebut, aliran barang dan aktivitas perdagangan antara dua wilayah bisa semakin didorong sebagai bentuk kerja sama multilateral.

Selain perdagangan, China juga menjadi salah satu investor strategis bagi RI. Hal ini dibuktikan dengan nilai penanaman modal asing (PMA) asal China yang besar. China masuk sebagai negara dengan nilai investasi terbesar di Indonesia. 

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi PMA China ke RI mencapai US$ 2,4 miliar pada paruh pertama tahun ini dan menjadi investor terbesar kedua setelah Singapura. 

Jika berkaca pada dua contoh di atas (RI dan AS) sebenarnya hubungan suatu negara dengan negara lain dibentuk oleh asas saling membutuhkan. Tak hanya RI saja yang membutuhkan China, tetapi AS juga. Begitu juga sebaliknya, asas ini juga berlaku untuk negara-negara lain. 

Pertumbuhan populasi yang pesat dan ditopang dengan masyarakat kelas menengah yang tinggi membuat China merupakan pasar yang sangat besar dan menarik untuk digarap.

Lantas Benarkah RI Dijarah Tiongkok?

Dengan adanya globalisasi dan dunia yang bertumpu pada China maka munculnya kekuatan ekonomi baru (China) pada dasarnya merupakan sebuah konsekuensi yang tak dapat terelakkan.

Sehingga pernyataan #IndonesiaDijarahTiongkok pada dasarnya perlu disoroti dan dikaji lebih objektif mengingat banyak negara lain (selain RI & AS) yang tekor berdagang dengan China.  Ini semua harus dipandang sebagai konsekuensi keajaiban ekonomi Negeri Panda dan fenomena globalisasi.

Sentimen negatif terhadap China sebenarnya tak terlepas dari fenomena global yang terus berkembang. Semula berasal dari AS yang menuding praktik dagang China tidak menjunjung asas fairness. China dianggap sebagai manipulator nilai tukar. 

Kemudian sejak ada pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), China menjadi kembali sorotan publik global di tengah AS yang terus menggulirkan narasi bahwa China telah merampas kebebasan umum melalui UU Keamanan Hong Kong, kekerasan terhadap komunitas muslim minoritas Uighur hingga kedaulatan negara di Laut China Selatan.

Pada dasarnya sentimen publik global terhadap China sudah terbelah sebelum pandemi hadir. Berdasarkan survei Pewresearch, sentimen negatif terhadap China banyak dijumpai di AS dan Canada. Sementara negara-negara maju lain juga mulai memiliki sentimen buruk terhadap Negeri Panda.

Jika ditambah dengan ekonomi China yang mampu bangkit paling awal dari serangan pandemi, tentu ini akan semakin membangkitkan kecemburuan sosial dan kian menguatkan sentimen negatif terhadap China.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Besok, Menlu China 'Blusukan' ke RI Temui Jokowi Hingga Luhut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular