
China Blokir Migas Vietnam di Laut China Selatan, Proyek RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi di Laut China Selatan yang belakangan memanas mulai merembet ke sektor minyak dan gas (migas). Asia Times dalam laporannya menuliskan tindak tanduk China mengakibatkan kerugian besar bagi pihak Vietnam.
China mendesak Vietnam untuk menghentikan ekspedisi pengeboran migas lepas pantai Rosneft Vietnam- perusahaan patungan Vietnam dan Rusia- melalui perusahaan bernama Noble Corp.
Noble Corp berbasis di London. Sebelumnya, tulis media itu, perusahaan itu memang sudah mengumumkan membatalkan kontrak untuk rig eksplorasi semi-submersible (anjungan lepas pantai) meski tak menyebutkan lokasi jelasnya.
Hal senada juga diberitakan BBC Vietnam. Dalam tulisannya, pemerintah Vietnam meminta BUMN migas PetroVietnam untuk membatalkan kontrak karena tekanan China.
Proyek ini sendiri dilakukan sejak 2018 di Lan Do, di mana masuk ke lokasi klaim "Sembilan Garis Imajiner" China. Konsep Sembilan Garis Imajiner ini membuat China menguasai 80% Laut China Selatan.
Sebelumnya, The Diplomat melaporkan setelah mendapat tekanan berlebih dari China, Vietnam terpaksa membayar kompensasi US$ 1 miliar (Rp 14,6 triliun, asumsi Rp 14.621/US$) kepada dua perusahaan minyak internasional karena membatalkan kontrak mereka di perairan tersebut.
Media itu menulis PetroVietnam akan membayar uang kepada perusahaan Repsol Spanyol dan Mubadala dari Uni Emirat Arab sebagai "kompensasi". Keputusan tersebut merupakan harga yang mahal bagi Vietnam.
Sebuah sumber industri minyak regional mengatakan, Vietnam membayar US$ 800 juta kepada Repsol dan Mubadala untuk hak-hak mereka di blok-blok itu, termasuk US$ 200 juta sebagai kompensasi untuk semua investasi yang telah mereka lakukan dalam proses eksplorasi dan pengembangan.
Tekanan yang dilakukan China disebut makin keras ke sejumlah negara di Laut China Selatan belakangan ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS memperkirakan China memblokir pengembangan sumber daya migas senilai US$ 2,5 triliun di Laut China Selatan.
Tak hanya Vietnam, China juga mengklaim laut Malaysia. Awal tahun ini, kapal minyak yang terafiliasi dengan Petronas dikabarkan CNN International dibuntuti kapal pengawas China, dekat pengeboran minyak Petronas.
Sebenarnya konsep sembilan garis imaginer China sudah dibatalkan Mahkamah Arbitrase PBB. Namun China menolak hal tersebut.
Akibat klaim sepihak China atas wilayah Laut China Selatan, hubungan Negeri Tirai Bambu dengan negara anggota ASEAN memburuk. Setidaknya China bermasalah dengan Vietnam, Filipina, Brunei, Taiwan, dan Malaysia terkait dengan perairan tersebut. Belum ada konfirmasi dari pemerintah China mengenai hal ini.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Wilayah Indonesia yang paling dekat dengan kawasan Laut China Selatan adalah Natuna, Kepulauan Riau. Natuna memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama migas.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, ada sejumlah blok migas yang dieksplorasi oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di bawah koordinasi SKK Migas antara lain Blok East Natuna dan South Natuna Sea Blok B.
Blok East Natuna
Sebelumnya blok ini dikenal dengan nama Blok Natuna D Alpha. Adapun kontraktor yang berada di blok ini semula adalah Pertamina dan Exxonmobil dengan masing-masing porsi kepemilikan saham 45%, dan PTT EP Thailand dengan porsi 10%,
Pertengahan tahun 2017, Exxonmobil memutuskan mundur karena soal porsi bagi hasil. Disusul oleh PTT EP dengan persoalan serupa di bulan ini. Kini, tersisa hanya Pertamina yang menjadi kontraktor dan Petrochina dikabarkan sedang melakukan studi bersama untuk mengetahui potensi di blok tersebut.
Blok East Natuna terletak di Laut Cina Selatan dan memiliki potensi cadangan gas hingga 226 triliun kaki kubik (tcf). Tetapi kandungan karbon di blok ini cukup tinggi, yakni hingga 70%, diperkirakan jika sudah memasuki masa produksi cadangan bisa menyusut hingga tingga tersisa 46 tcf.
South Natuna Sea Block B
Medco Energi melalui PT Medco E&P Natuna merupakan operator blok ini. Kontrak PSC di blok ini ditandatangani 16 Oktober 1968 dan berakhir 15 Oktober 2028. Per Desember 2019, jumlah sumur yang aktif mencapai 106 dari total 190.
Secara kumulatif, per Desember 2019, produksi Medco di blok ini mencapai 529 MMSTB (minyak dan kondensat) dan 2.471 BSCF (gas).
Sampai artikel ini ditulis, Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro belum merespons permintaan wawancara CNBC Indonesia terkait blok migas yang sedang digarap Medco Energi di Natuna.
Selain itu, ada pula Natuna Sea Blok A dan Blok Tuna yang mana perusahaan asal Inggris Premier Oil bertindak sebagai operator di blok ini dengan porsi saham mencapai 28,67%. Premier bermitra dengan sejumlah partner antara lain Petronas dengan persentase saham 15% dan PHE 23%.
Premier juga bertindak sebagai pengelola Blok Tuna yang ada di Laut Natuna Utara. Porsi sahamnya mencapai 65%. Partner Premier di blok ini antara lain MOECO dengan persentase saham 25% dan GS Energy 15%.
Saat dikonfirmasi perihal kondisi terkini di sekitar Laut China Selatan, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Susana Kurniasih mengaku situasi masih aman terkendali.
"Sejauh ini tidak ada isu dari sektor hulu migas," kata Susana kepada CNBC Indonesia via pesan singkat di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Ketika dikonfirmasi perihal pengamanan terhadap kegiatan hulu migas di kawasan itu, Ia menegaskan SKK Migas tidak terlibat langsung dalam urusan keamanan. Semua masalah tersebut di-handle oleh pemerintah.
"Mohon masalah ini ditanyakan ke Kementerian Luar Negeri atau TNI AL," ujar Susana.
(miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Vietnam Genjot Kekuatan Militer Laut China Selatan, Buat Apa?