
Jadi, Ekonomi China Itu Sudah Pulih atau Belum Sih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China berbalik menguat pada kuartal kedua, menandai tonggak penting dalam sejarah perang melawan pandemi Covid-19, tetapi masih terlalu dini jika menyimpulkan bahwa China telah sukses memulihkan ekonominya dari efek pandemi.
Sebagaimana diberitakan CNBC International, pertumbuhan ekonomi Negeri Panda tersebut tumbuh 3,2% pada kuartal kedua tahun ini, lebih baik dari ekspektasi analis d polling Reuters sebesar 2,5%.
Bagi China, kuartal II-2020 merupakan periode transisi ekonomi. Pada 23 Januari mereka melakukan karantina wilayah secara penuh (total lockdown) provinsi Hubei, dan baru membukanya pada 8 April 2020 setelah penyebaran virus teratasi.
Kuartal kedua, dengan kata lain, menjadi periode pertama bagi China untuk membuka kembali ekonomi meski masih dibayangi pandemi. Di periode ini, dunia melihat kepiawaian tim pemerintahan Presiden China Xi Jinping untuk memutar roda ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi 3,2% pada periode tersebut membalik kontraksi pada kuartal pertama yang mencapai -6,8%. Meski demikian, ekonomi Negeri Panda tersebut masih terhitung 1,6% lebih rendah dari Juni 2019.
Namun, ada dua hal yang mengindikasikan bahwa perbaikan ini masih belum bisa dibilang sebagai 'pemulihan' sehingga kita semua masih perlu waspada.
Pertama, jika diperhatikan, kunci perbaikan pertumbuhan ekonomi tersebut masih bersifat sentralistis di mana kunci motor pertumbuhan berasal dari sektor industri yang banyak digerakkan oleh mesin perusahaan pelat merah dan bukan sektor swasta atau rumah tangga.
Ini bisa dilihat dari keluaran industri yang tercatat naik 4,8%, tetapi penjualan ritel ambles 1,8%. Artinya apa? Pemulihan didorong industri dan permintaan konsumen masih rendah sehingga sektor ritel menghadapi kenyataan penyerapan produk mereka masih drop.
Pelaku usaha di sektor swasta masih menunda investasinya pada semester pertama tahun ini. Investasi sektor manufaktur anjlok nyaris 12%. Di sisi lain, belanja BUMN masih tinggi, naik 2,1% pada enam bulan pertama 2020 setelah anjlok 1,9% pada Mei.
Ini bahkan terjadi setelah China memberikan relaksasi bisnis dengan pemangkasan pajak dan biaya bisnis, diskon bunga kredit di perbankan, dan kenaikan belanja fiskal untuk menggenjot sektor riil terutama di sektor infrastruktur dan properti.
Sejauh ini, konsumsi yang masih terlihat meningkat adalah konsumsi barang tak tahan lama (non-durable goods) yakni kebutuhan sehari-hari seperti kosmetik, minuman, perangkat telekomunikasi, alkohol dan tembakau yang membukukan kenaikan double-digit.
Sebaliknya, penjualan bahan bakar minyak (BBM) dan otomotif membukukan penurunan, mengindikasikan bahwa konsumsi jasa (rekreasi, perjalanan, dll) serta konsumsi barang durable yang menjadi tulang punggung manufaktur mereka belum pulih benar.