Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) telah memicu gelombang tsunami PHK dan meningkatkan angka pengangguran global. Jepang menjadi salah satu negara di Asia yang merasakan kenaikan angka pengangguran.
Pandemi Covid-19 yang merebak membuat banyak negara memilih untuk melakukan karantina wilayah (lockdown). Pabrik tutup atau beroperasi dengan kapasitas yang lebih rendah. Kebutuhan tenaga kerja melambat bahkan turun.
Banyak tenaga kerja yang dirumahkan bahkan terkena PHK. Pendapatan masyarakat menjadi berkurang, optimisme menurun dan daya beli tergerus. Fenomena ini dialami oleh berbagai negara di dunia baik di negara maju maupun berkembang.
Namun berbeda dengan kebanyakan negara di dunia, Jepang lebih memilih untuk tetap membuka ekonominya dengan menggalakkan pembatasan sosial (social distancing). Kasus di Jepang mencapai puncaknya pada 12 April lalu dengan tambahan 743 kasus dalam sehari.
Setelah itu pertambahan jumlah kasus terus mengalami perlambatan. Memasuki bulan Mei dengan pertambahan jumlah kasus yang sangat signifikan, Jepang mulai melonggarkan pembatasannya dan mencabut status daruratnya.
Meski tak menerapkan lockdown yang ketat, ekonomi Jepang juga mengalami kemerosotan. Sektor manufaktur Negeri Sakura mengalami kontraksi yang parah. Hal ini tercermin dari angka PMI manufaktur yang terus mengalami penurunan signifikan sejak bulan Maret ketika wabah mulai merebak di Jepang.
Data terbaru menunjukkan bahwa output industri Jepang juga mengalami kontraksi yang dalam hingga minus 8,4% pada Mei. Meskipun lebih baik dari bulan sebelumnya, tetapi jauh di bawah konsensus yang memperkirakan kontraksinya hanya sebesar -5,6%.
Tingkat pengangguran pun mengalami lonjakan. Data Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang mencatat tingkat pengangguran pada bulan Mei naik menjadi 2,9% dari bulan sebelumnya di 2,6%. Ini merupakan tingkat pengangguran tertinggi sejak Juni 2017.
Berbeda dengan Jepang, Negeri Paman Sam melaporkan lonjakan angka penganggurannya saat banyak negara bagian menerapkan lockdown untuk mencegah wabah semakin menjalar.
Data Departemen Tenaga Kerja AS mencatat bahwa tingkat pengangguran di AS pada bulan April mencapai 14,7% dan turun di bulan Mei seiring dengan relaksasi lockdown yang membuat adanya tambahan 2,5 juta lapangan kerja (nonfarm payrolls) sehingga angka pengangguran mengalami penurunan menjadi 13,3%.
Meski menurun tingkat pengangguran di AS masih tergolong sangat tinggi dan menjadi yang tertinggi sejak peristiwa the Great Depression serta 4 kali lipat lebih banyak dari tingkat pengangguran di bulan Februari.
Ada beberapa hal yang membuat tingkat pengangguran di Jepang lebih rendah ketimbang di AS. Mengutip New York Times, konsetalasi sosial, demografi dan epidemiologi menjadi tiga faktor yang membuat angka PHK di Jepang tidak sebanyak di negara lainnya.
Populasi Jepang yang menua membuatnya susah untuk mencari tenaga kerja. Pada bulan April, dari 100 pencari kerja terdapat 120 lowongan kerja tersedia. Artinya secara umum Jepang masih kekurangan tenaga kerja.
Jepang juga tetap membiarkan aktivitas ekonominya tetap berjalan ketika pandemi merebak. Hal ini juga dipicu oleh keberhasilan Jepang dalam mengendalikan wabah. Tidak seperti AS yang mengalami lonjakan kasus yang sangat signifikan serta menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia.
Namun dua faktor ini hanya menjelaskan beberapa perbedaan antara Jepang dan AS. Ada hal lain yang lebih menjelaskan mengapa tingkat pengangguran di Jepang tak setinggi di AS.
Di Jepang, untuk memberhentikan karyawan adalah tindakan yang tergolong sangat susah baik secara psikologis maupun praktis. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan AS, Jepang lebih memprioritaskan keberlanjutan. Hal ini dijelaskan oleh Naohiko Baba, kepala ekonom Goldman Sachs Jepang, seperti diberitakan New York Times.
"Dalam kondisi yang baik, perusahaan mengakumulasi laba pada neraca mereka dan melarang adanya kenaikan gaji pekerjanya" kata Baba. "Ketika kondisi buruk, perusahaan menahan diri dari mem-PHK karyawannya dan menggunakan laba ditahan saat kondisi baik tadi, sehingga orang-orang masih dapat bekerja" tambahnya.
Di sisi lain, organisasi atau serikat buruh di Jepang juga tergolong kuat. Sehingga memecat atau memberhentikan karyawan ongkos sosialnya sangat mahal di Jepang. Hal ini lah yang membuat tingkat pengangguran di Jepang tidak setinggi negara lain meski model pekerja kontrak yang lebih longgar aturannya mulai umum di Negeri Sakura.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperingatkan bahwa akibat adanya pandemi akan ada tambahan ratusan juta orang menganggur. Padahal sebelum pandemi saja tingkat pengangguran global sudah sangat tinggi di angka 190 juta.
Menurut ILO ada beberapa sektor yang paling merasakan dampak dari pandemi ini. Pasalnya sektor-sektor tersebut merupakan industri yang sangat bergantung pada mobilitas orang dan barang serta memiliki jumlah tenaga kerja yang banyak.
Sektor paling terdampak menurut ILO antara lain sektor pangan dan akomodasi dengan 144 juta pekerja, ritel dan wholesale sebanyak 482 juta, jasa dan administrasi bisnis dengan 157 juta tenaga kerja dan manufaktur yang memiliki 463 juta tenaga kerja.
Ada satu hal yang perlu dikhawatirkan dari dampak pandemi yang terjadi sekarang ini. Menurut kajian Dana Moneter Internasional (IMF) setiap kali wabah terjadi dampak yang ditimbulkan adalah semakin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Prospek ketenegakerjaan juga jadi suram.
Menurut IMF hilangnya pekerjaan akibat pandemi Covid-19 lebih membahayakan bagi mereka tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah. Mereka yang bekerja di sektor informal juga menjadi yang paling terdampak oleh pandemi.
Di saat pengangguran yang melonjak membuat angka kemiskinan juga ikut terkerek naik, beberapa orang justru malah mendulang untung dan menjadi semakin kaya. Majalah Forbes merilis daftar 25 orang terkaya di dunia menimbun uang paling banyak selama dua bulan terakhir.
Sebanyak 25 orang tersebut terafiliasi dengan kepemilikan saham di perusahaan publik. Setelah anjlok hingga akhir Maret lalu, harga saham reli dan membuat kekayaan 25 orang terkaya di dunia bertambah US$ 255 miliar.
Pandemi Covid-19 seolah berperan sebagai disruptor sekaligus akselerator kesenjangan sosial hingga ekonomi. Bukti nyata social unrest sudah tampak di AS ketika salah satu warga Afro-Amerika bernama George Floyd tewas di tangan polisi Minneapolis.
Jika pemerintah dan semua pihak tidak menyasar masalah ini, fenomena social unrest akan semakin tereskalasi. Stabilitas politik akan terganggu, proses pemulihan ekonomi bisa semakin lama akibat kerugian yang harus diderita oleh adanya kerusuhan yang berpotensi menjadi tidak terkontrol.
TIM RISET CNBC INDONESIA