2020 Penuh Konflik, Giliran India vs China, Bisa WW III?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 June 2020 16:18
Tentara India menjaga di jalan raya Srinagar-Ladakh di Gagangeer, timur laut Srinagar, India (AP/Mukhtar Khan)hina Himalayan Standoff
Foto: Tentara India menjaga di jalan raya Srinagar-Ladakh di Gagangeer, timur laut Srinagar, India (AP/Mukhtar Khan)

Jakarta, CNBC Indonesia - China dan India belum lama ini terlibat bentrok di perbatasan hingga menelan korban jiwa. Hubungan kedua negara itu kini retak dan tensi geopolitik pun meninggi.

Bentrokan antara India dengan China terjadi di Lembah Galwan, Ladakh, India, Senin (15/6/2020) yang merupakan perbatasan antara kedua negara. Kala itu dua perwira dan satu prajurit tentara India dinyatakan tewas dalam pertempuran.

Bentrokan tersebut terus tereskalasi. Kabar terbaru menyebutkan sudah ada 20 tentara India yang tewas dalam kerusuhan itu. Hal ini mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan masyarakat India.

Bahkan warga India, sebagaimana ditulis The New York Times, turun ke jalan menyerukan aksi protes meminta pemboikotan China.

Massa menghancurkan televisi buatan China di jalan dan menginjak-injak foto presiden China Xi Jinping. Seorang menteri di pemerintahan bahkan menyerukan restoran-restoran China ditutup.

Beijing dan Delhi saling menyalahkan karena bentrokan ini. Kawasan yang disengketakan adalah Lembah Galwan, yang terletak diantara Ladakh yang jadi bagian India dan Tibet yang jadi bagian China.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri India, Anurag Srivastava mengatakan bentrokan muncul karena ulah China. "Bentrokan muncul dari upaya China untuk mengubah status quo secara sepihak di perbatasan," katanya.

Sementara dikutip dari South China Morning Post, China mengatakan India masuk ke kawasannya secara ilegal. "Mereka dengan sengaja memprovokasi serangan," kata Juru Bicara pasukan China yang bertugas, Zhang Shuli.

Sebenarnya, perseteruan kedua negara di wilayah itu sudah terjadi sejak 1962. Setelah terakhir memakan korban 4 tentara India di tahun 1975, korban jiwa baru terjadi lagi sekarang.


Meski tak diperkenankan menggunakan senjata api, bentrok terus terjadi di perbatasan dengan tangan. Namun pada Senin, analis militer India menyebut China menggunakan pentungan bertabur paku untuk melukai tentara India.

Sementara itu, pimpinan redaksi media nasional China mengatakan India telah salah dalam menilai China dan perlu sadar diri. Hal ini diutarakan Editor-in-Chief Global Times Hu Xijin, dalam sebuah video singkat yang diposting di Twitter media tersebut, Jumat (19/6/2020).

"Mereka berpikir bahwa karena India telah menjadi kekuatan yang kuat, dan Amerika Serikat secara strategis telah menarik India ke sisinya, negara ini sekarang memiliki modal untuk menjadi tangguh dalam perselisihan dengan China," katanya.

"Beberapa orang India bahkan dengan arogan percaya bahwa India sekarang mampu mengalahkan China dalam konflik militer. India perlu sadar diri."

India dan China merupakan dua negara tetangga yang sama-sama dihuni oleh lebih dari 1 miliar penduduk. Militer keduanya juga masuk ke dalam top 10 terkuat di dunia versi Global Fire Power.

Kekuatan militer China berada di peringkat ketiga setelah Negeri Paman Sam dan Rusia, kemudian di posisi keempat ada India yang menyusul. Militer China memang masih lebih diunggulkan jika dibandingkan India.

Meski secara jumlah personel militer, China kalah jumlah dari India, tetapi kelengkapan alutsista untuk angkatan udara (AU), darat (AD) hingga laut (AL) Negeri Tiongkok memang lebih unggul dari segi jumlah.

Anggaran pertahan China juga jauh lebih besar dari anggaran militer India. Nominalnya nyaris 4x total anggaran militer India. 

China sejak 10 tahun terakhir sudah menjelma menjadi raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Meroketnya ekonomi China dan upaya untuk terus melebarkan pengaruhnya di kancah Asia maupun global mendapat sorotan dari banyak pihak.

Anggaran militer China pun turut menjadi hal yang dicermati oleh publik. Pasalnya anggaran militer ini mencerminkan ingin sekuat apa suatu negara dan untuk apa kekuatan tersebut diperoleh.

China juga menaikkan anggaran untuk pertahanannya hingga 6,6% untuk tahun ini menjadi RMB 1.268 miliar atau setara dengan US$ 178,6 miliar. Kenaikan anggaran ini jauh lebih tinggi dari perkiraan analis yang hanya sebesar 3% saja mengingat ekonomi Tiongkok juga anjlok karena didera pandemi.

Jika secara nominal, anggaran untuk pertahanan China pada 2019 mengacu pada data SIPRI merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah rivalnya yakni AS yang bertengger di posisi pertama dengan total anggaran US$ 718,7 miliar.

Di posisi ketiga setelah China ada India dengan anggaran mencapai US$ 70,8 miliar dan di peringkat keempat ada Rusia dengan total anggaran pertahanan miliknya yang mencapai US$ 64,1 miliar. 

Dengan anggaran sebanyak itu, ke mana saja alokasinya? Pengeluaran pertahanan Tiongkok dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu biaya personil, biaya pemeliharaan pelatihan dan pembelian peralatan, menurut Kementerian Pertahanan Nasional China.

Militer Cina perlu mendapatkan sejumlah besar senjata dan peralatan canggih yang mahal untuk menggantikan senjata yang sudah 'usang' yang konon kabarnya jumlahnya sangat banyak. Hal ini terlihat dari peningkatan alokasi anggaran untuk pos ini sejak 2013.

Disamping itu, kenaikan anggaran militer China juga dialokasikan untuk meningkatkan intensitas pelatihan; seiring dengan meningkatnya inflasi, manfaat prajurit dan perwira juga perlu ditingkatkan.

China bahkan dikabarkan membangun kapal induk (aircraft carrier) ketiganya dan yang ini adalah versi lebih canggih dari sebelumnya. China juga dilaporkan mengembangkan apa yang disebut senjata pembom jarak jauh.

Jumlah senjata modern seperti jet tempur J-20 dan perusak besar Tipe 055 dinilai masih kurang dibandingkan dengan jet tempur F-35 yang berpotensi bermusuhan dan kapal perang canggih milik AS dan sekutunya di sekitar China.

Jika melihat catatan sejarah, Tiongkok memang tidak pernah berperang dalam beberapa dekade terakhir. Negeri Tirai Bambu itu sangat bergantung pada pelatihan untuk mempertajam dan mempertahankan kesiapan tempur.

Tema global 2020 tidak hanya seputar pandemi corona. Namun juga tensi geopolitik. Dimulai dengan tewasnya Jenderal Karismatik Iran Qassem Soleimani yang terbunuh dalam perjalanan menuju bandar udara internasional Baghdad oleh pesawat nirawak AS pada awal tahun. Kala itu Iran sempat membalas AS dengan menghujani markas militer AS di Iraq dengan roket.

Tensi geopolitik lain juga terjadi antara India dengan Malaysia. India tidak terima atas kritik mantan Perdana Menteri Negeri Jiran Mahathir Mohamad soal konflik Kashmir dan undang-undang kewarganegaraan India yang baru. Aksi ini sempat berujung pada boikot sawit Malaysia.

Tensi geopolitik AS-China kembali naik ketika pandemi yang terjadi akibat virus corona mulai merebak ke berbagai negara dan AS menjadi negara yang warganya paling banyak terinfeksi.

Ekonomi AS jatuh dan Presiden Donald Trump tak terima. Mantan taipan AS itu pun menyalahkan China atas pandemi yang terjadi. AS juga menaruh kecurigaan atas asal muasal virus tersebut. 

Ketegangan antara keduanya semakin menjadi ketika China meloloskan RUU keamanan nasional untuk Hong Kong yang dinilai mencederai prinsip satu wilayah dua sistem. AS yang makin geram berbagai langkah dan ultimatum keras seperti sanksi ekonomi bahkan sampe menunjukkan taringnya dengan mengirimkan personel militernya ke Laut China Selatan.

AS juga menekan untuk melakukan investigasi terkait asal mula virus yang pertama kali merebak di Wuhan China itu. Usulan ini mendapat dukungan dari berbagai pihak salah satunya Australia. China pun menjadi geram dan menarget Negeri Kangguru dengan menerapkan bea masuk terhadap impor barley-nya.

Saat pandemi merebak, harga minyak jatuh bahkan sempat memasuki teritori negatif. Perbedaan pendapat terkait opsi pemangkasan output juga sempat membuat Arab Saudi dan Rusia bersitegang walau akhirnya melunak untuk kepentingan bersama.

Belum genap satu semester berlalu, sudah banyak sekali ketegangan yang terjadi. Baru-baru ini yang banyak menjadi pemberitaan selain konflik India dengan China adalah ketegangan Korea Selatan (Korsel) dengan Korea Utara (Korut).

Hubungan keduanya kembali retak setelah Korut menghancurkan gedung penghubung antara kedua negara. Korut mengaku kecewa karena Korsel dinilai membiarkan pembelot Korut melakukan aksi provokasi di perbatasan.

Ada banyak disintegrasi yang terjadi di tahun ini. Kondisi ekonomi dan geopolitik global jauh dari kata 'adem ayem'. Pandemi corona bukanlah pemicu utama dari berbagai tingginya tensi geopolitik yang ada. Namun tragedi kemanusiaan tersebut seolah menjadi katalisator berbagai ketegangan yang terjadi.

Hal yang ditakutkan adalah ketika banyak letupan konflik terjadi secara regional dan tak menemukan resolusi, dikhawatirkan gesekan akan terjadi di medan tempur dan bisa memicu pecahnya perang dunia ketiga (WW III). Semoga saja tidak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pamer ke China, Militer India Perkuat Perbatasan di Himalaya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular