
Wamendag Bawa Kabar Buruk & Baik Soal Sawit, Apa Itu?

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri sawit dan turunannya mengalami tekanan saat pandemi covid-19. Di sisi lain persoalan di luar pandemi terhadap sektor sawit juga tak kalah beratnya.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menjelaskan, minyak sawit dan produk turunannya merupakan komoditas strategis di tengah pandemi, karena berkontribusi signifikan bagi kinerja ekspor non migas Indonesia.
"Januari sampai dengan April 2020, ekspor CPO mencapai US$ 6,3 miliar atau memberikan kontribusi 12,4% dari total ekspor non migas yang. Secara nilai, ekspornya meningkat dari tahun sebelumnya," jelas Jerry dalam suatu diskusi virtual, Senin (15/6/2020).
Kinerja ekspor di beberapa pasar utama sawit dalam periode Januari-April cukup bervariasi. Melihat perbandingannya dengan negara tujuan ekspor Indonesia, seperti India, RRT, Pakistan dan Belanda.
Nilai ekspor CPO dan turunannya ke Indonesia masih menunjukkan adanya permintaan, terlihat dari peningkatan secara nilai dan volume.
Adapun realisasi ekspor CPO dan turunannya ke India sejak Januari-April 2020 sebesar 1,64 juta ton atau naik 11,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 1,47 juta ton. Secara nilai, realisasi ekspor ke India sebesar US$ 1,09 miliar atau naik 55,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 699,2 juta.
Kendati demikian, kata Jerry Indonesia harus mawas diri di sektor sawit ini, karena terdapat penurunan pangsa ekspor selama tiga tahun ke belakang.
Tren permintaan sawit dunia sejak 2010 sampai 2019 terkontraksi 3,53% dan permintaan sawit dunia pada 2018-2019 mengalami kontraksi hingga 22,89%.
"Demand dunia, global demand ke minyak sawit, terjadi penurunan. Impor sawit dalam 5 tahun terakhir menurun di China, India, Belanda, Malaysia dan Jepang," jelas Jerry.
Kabar Tak Menggembirakan
Selain situasi pandemi covid-19, tantangan ekspor sawit Indonesia kata Jerry datang dari berbagai hambatan ekspor di beberapa dunia. Sebagai contoh produk biodiesel di negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa dikenakan bea masuk anti-subsidi atau countervailing duties (CVD).
Sayangnya, AS, ekspor biodisel Indonesia dikenakan anti dumping dan anti subsidi oleh pemerintah AS dengan total margin mencapai 126,97% - 341,38%.
Dalam merespons kebijakan yang diterapkan oleh AS, kata Jerry, pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya banding di The Dispute Settlement Body (DSB) of the World Trade Organization (WTO).
"Dan dalam proses banding di United States Court of International Trade (USCIT)," jelas Jerry.
Secara rinci, total ekspor biodiesel ke AS pada 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 236,8 ribu ton dan 371 ribu ton. Sementara pada 2017, ekspor biodiesel ke AS hanya sebesar 1 juta ton.
Sementara di Pasar Eropa, ekspor biodiesel Indonesia dikenakan anti-subsidi oleh Otoritas Uni Eropa, dengan rentang antara 8% - 18%. Dalam merespons ini, pemerintah telah menempuh langkah pembelaan melalui forum hearing dan penyampaian submisi dengan Uni Eropa.
Secara rinci, ekspor biodiesel ke Uni Eropa pada periode Januari-Maret 2019 mencapai 155,1 ribu ton. Namun, Indonesia tidak melakukan ekspor biodiesel ke Eropa sejak triwulan I 2020.
Sepanjang 2019, Kemendag mencatat total volume ekspor biodiesel ke Uni Eropa mencapai 501,9 ribu ton. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan total ekspor biodiesel ke Uni Eropa pada 2018 sebesar 807,4 ribu ton.
Jerry mencatat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menurun drastis sejak pengenaan CVD. Ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa turun drastis 99,99%.
"Potensi nilai ekspor yang hilang di AS diperkirakan mencapai US$ 255,6 juta. Hal yang sama yang terjadi pada ekspor biodiesel asal Indonesia di Eropa. Ekspor penurunan biodiesel ke Eropa turun drastis sekitar 99,9%," ujarnya.
Ekspor biodiesel Indonesia ke Tiongkok dan Belanja juga mengalami penurunan. Di pasar Tiongkok secara volume dan nilai, mengalami penurunan masing-masing 97,5% dan 10,1%.
"Intinya kita memang mengalami penurunan di dua pangsa pasar utama, di antaranya di Tiongkok dan Belanda," kata Jerry.
Dengan adanya hambatan dan tantangan, dan semua dampak terhadap ekspor dan turunannya, pemerintah telah berupaya menjaga saabilisasi harga CPO dengan berbagai kebijakan. Salah satunya melalui kebijakan B30.
Mandatory penerapan B30, kata Jerry dilakukan dengan berbagai langkah strategis untuk memenuhi sumber energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, program B30 diharapkan dapat efektif dengan meningkatkan permintaan produk sawit di dalam negeri.
"Sehingga dengan supply yang tidak berubah secara cepat, harga sawit bisa terjaga," ucapnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sarang Burung Hingga Sawit Bikin Ekspor Maret Meroket 30%