Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 kemungkinan terkontraksi (tumbuh negatif) -3,1%. Sejauh ini, berbagai yang ada memang kurang menggembirakan.
"Pada kuartal II akan ada kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan dan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini akan mempengaruhi kuartal II yang kita perkirakan -3,1%," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2020, hari ini.
Kalau proyeksi ini terwujud, maka akan menjadi kali pertama ekonomi Indonesia masuk zona minus sejak kuartal I-1999. Kala itu, ekonomi Tanah Air terkontraksi -6,13%.
Well, 'ramalan' Sri Mulyani bukan tanpa alasan. Data yang sudah dirilis sepanjang periode April-Juni memang tidak mendukung.
Dari mana kita mulai... Hari ini, Bank Indonesia (BI) mengumumkan penjualan ritel pada April terkontraksi 16,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Ini menjadi pencapaian terburuk sejak Desember 2008.
Bahkan pada Mei, BI memperkirakan penjualan ritel anjlok lebih dalam yaitu 22,9%. Masih terendah sejak akhir 2008. Kala itu, Indonesia tengah bergulat dengan krisis keuangan global.
Kemudian BI juga melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei berada di 77,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 84,8 dan menjadi yang terendah sejak Juli 2008.
IKK menggunakan 100 sebagai titik mula. Kalau di bawah 100, artinya konsumen tidak percaya diri melihat kondisi perekonomian saat ini dan bulan-bulan ke depan. Parahnya, kepercayaan konsumen di Indonesia semakin anjlok.
Kemarin, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan penjualan mobil pada Mei hanya 3.551. Ambles seambles-amblesnya sampai -95,8% YoY. Ini adalah pencapaian terburuk sepanjang sejarah.
Tidak hanya di sisi konsumen, dunia usaha pun menunjukkan kondisi yang tidak sehat. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Mei adalah 28,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik start. Kalau di bawah 50, artinya industriawan tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi.
"Output terus menurun pada kisaran parah pada Mei, ditambah dengan penurunan substansial permintaan baru, yang sebagian disebabkan oleh penurunan tajam penjualan ekspor. Tingkat penurunan pada variabel tersebut sedikit berkurang dari kondisi April, tetapi menjadi yang tercepat kedua sepanjang survei yang dimulai pada April 2011," sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Lalu, baru kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Mei. Nilai ekspor bulan lalu adalah US$ 10,53 miliar, ada kontraksi -28,95% YoY. Kontraksi -28,95% merupakan yang paling dalam sejak Februari 2009.
Sementara nilai impor pada Mei tercatat US$ 8,44 miliar atau anjlok 42,2% YoY. Seperti halnya ekspor, kontraksi impor juga menjadi yang paling dalam sejak 2009.
Ekspor yang ambles sangat dalam membuat prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 menjadi suram. Pada kuartal I-2020, ekspor masih bisa tumbuh walau tipis saja di 0,24%. Itu tertolong akibat pertumbuhan yang mencapai 12% pada Februari. Namun dengan kontraksi lebih dari 28% pada Mei, harapan untuk mengulangi pencapaian serupa sangat sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil).
Kemudian di sisi impor, kontraksi sangat dalam terjadi untuk impor bahan baku/penolong dan barang modal. Pada Mei, impor bahan baku/penolong ambrol -43,03% YoY dan barang modal jatuh -40% YoY.
Kelesuan impor bahan baku/penolong dan barang modal menggambarkan kelesuan proses produksi industri nasional. Ini juga mencerminkan keengganan dunia usaha dalam berekspansi, sehingga investasi sepertinya bakal bernasib sama seperti ekspor.
Berbagai data tersebut memberi gambaran suramnya ekonomi nasional pada kuartal II-2020. Jadi sangat wajar jika Sri Mulyani menyebut bakal terjadi kontraksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA