Harga Gas RI Lebih Murah dari Kopi Kekinian, Apa Sebabnya?

Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
16 June 2020 11:35
FILE PHOTO: An LNG tanker is seen off the coast of Singapore February 3, 2017. REUTERS/Gloystein/File Photo/File Photo/File Photo
Foto: An LNG tanker is seen off the coast of Singapore February 3, 2017. REUTERS/Gloystein/File Photo/File

Jakarta, CNBC Indonesia- Lagi-lagi sektor migas hadapi ujian berat. Setelah harga minyak yang sempat minus dua bulan lalu, kali ini giliran harga gas alam cair yang babak belur.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto memaparkan saat ini LNG dari lapangan-lapangan andalan di Indonesia di jual dengan harga murah di pasar spot.

"LNG tahun ini sangat berat," ujar Dwi, Senin (15/6/2020).

Ia memaparkan dari target 122 kargo, sampai April baru terjual 72 kargo. Ini dikarenakan kondisi pasar LNG sedang lesu, dari sisi pasokan kelebihan sementara dari sisi permintaan sedang menurun akibat covid-19.

Kontrak-kontrak jual beli yang sudah diteken, menyatakan pembatalan dan pengunduran ke tahun-tahun berikut.

"Jadi kita harus jual di harga spot," jelasnya.

Harga spot saat ini tidak sedap, bisa di kisaran US$ 2 per MMBTU kadang bahkan sampai minus 0,4 dan 0,5 per MMBTU. LNG Indonesia, kata dia, cuma dihargai US$ 1,5 per MMBTU. Ini setara Rp 21.000, lebih murah dari segelas es kopi kenangan mantan yang seharga Rp 24 ribu.

Mantan Gubernur OPEC untuk Indonesia sekaligus praktisi migas Widywan Prawira Atmaja menjelaskan kondisi LNG memang bisa diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga pula.

"Sebelum covid sudah pada kondisi over supply, jadi ada tekanan dari sisi harga," jelasnya.

Ini, kata dia, bisa dilihat dari kontra nilai yang slope (sebagai presentasi terhadap harga minyak) semakin rendah ke level di bawah 12%.

Dengan adanya pandemi, kondisi pasar pun makin gak keruan. Ditambah harga minyak juga turun.

Harga di pasar spot lebih disebabkan oleh kondisi permintaan yang tengah lesu. "Jadi supply lebih banyak dari demand."

Harga LNG ini beda jauh dibanding masa kejayaannya, untuk harga ekspor bahkan bisa mencapai US$ 11 per MMBTU saat itu. Tapi kondisinya kini memang berbeda.

"Di masa lalu, LNG selalu dikembangkan jika ada kontrak pembeli langsung (end user) untuk jangka panjang, jadi keekonomiannya secure," jelas Widyawan.

Tapi, belakangan banyak pembeli yang bukan end users dan hanya berlaku sebagai portofolio players. Terutama di pengembangan proyek-proyek LNG di Amerika Serikat.

"Di tempat lain pun porsi kontrak dalam proyek baru LNG terus mengecil, yang artinya sebagian dari produksi memang ditargetkan untuk men-supply spot market. Nah kalau banyak yang melakukan pengembangan proyek LNG seperti ini, pada saat demand destruction (karena covid), ya wassalam jadinya," jelasnya.


(gus/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Miris, LNG RI Lebih Murah dari Segelas Kopi Starbucks

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular