
OECD: Skenario Terburuk Ekonomi RI Minus 3,9% di 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah Bank Dunia, kini giliran OECD yang merilis proyeksi ekonomi global untuk tahun 2020. Dalam laporannya tersebut ekonomi Indonesia diproyeksi mengalami kontraksi.
Indonesia secara resmi mengumumkan dua kasus infeksi virus corona (Covid-19) pertamanya pada awal Maret lalu. Sebulan berselang, tepatnya pada 9 April wabah Covid-19 telah menjangkiti seluruh provinsi di Tanah Air.
Upaya pengendalian wabah di Indonesia dinilai OECD tidak terlalu ketat jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya. Fokus pengendalian wabah lebih diarahkan pada penutupan sekolah, menjaga jarak aman, bekerja secara remote dan larangan perjalanan dari dan ke luar negeri.
Namun ketika jumlah kasus melonjak signifikan, kebijakan semi-lockdown atau yang dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di berbagai wilayah di DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Pemerintah RI juga menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional dan menetapkan larangan mudik lebaran Idul Fitri untuk tahun ini. Namun dibalik semua upaya pengendalian wabah tersebut, OECD juga menyoroti koordinasi antara pusat dan daerah yang dinilai tidak efektif.
Wabah virus corona yang bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut telah memicu terjadinya guncangan (turbulensi) ekonomi RI. Kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal pertama mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tahun lalu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2020 tercatat berada di angka 2,97% (yoy). Angka ini jauh di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekonomi masih dapat tumbuh di 4,3% (yoy).
Melambatnya konsumsi rumah tangga yang jadi tulang punggung ekonomi domestik membuat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air di kuartal pertama anjlok signifikan.
Sejak bulan Maret beberapa indikator telah menunjukkan bahwa ekonomi RI sedang berada dalam bahaya. Angka PMI manufaktur mengalami kontraksi. Penjualan motor dan mobil turun tajam, keyakinan konsumen yang tergerus hingga tingkat inflasi yang rendah jadi cerminan bahwa ekonomi Indonesia jelas tidak resisten terhadap serangan wabah.
Pandemi yang merebak di berbagai penjuru dunia juga menyebabkan mobilitas orang dan dana menjadi terhambat. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara turun drastis, proyek-proyek investasi pun harus ditunda dan fokus pada pengendalian bencana.
Aktvitas ekonomi pun kehilangan momentumnya, sektor tenaga kerja pun ikut terimbas, jumlah karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan meningkat.
Kelompok yang paling menderita adalah mereka yang berada di sektor informal yang jumlahnya mencapai dua pertiga dari total tenaga kerja RI yang hanya bergantung pada pendapatan harian.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini OECD memperkirakan ekonomi Indonesia bakal mengalami kontraksi sebesar -2,8% di tahun ini. Perkiraan tersebut mengacu pada asumsi OECD jika wabah terjadi dalam sekali waktu saja.
Namun jika gelombang kedua wabah (second wave outbreak) muncul maka dampak ekonominya akan lebih signifikan lagi. Kontraksi yang terjadi akan lebih dalam. Perkiraan OECD jika Indonesia kedatangan gelombang kedua wabah maka ekonominya akan terkontraksi hingga minus 3,9% tahun ini.
Jika wabah Covid-19 hanya terjadi sekali di Indonesia (semoga) maka pada 2021 pertumbuhan PDB Indonesia diproyeksi berada di angka 5,2%. Namun jika gelombang kedua terjadi (semoga tidak) maka pertumbuhan PDB RI tahun depan diramal hanya 2,6%.
