Jakarta, CNBC Indonesia - Dua lembaga global mengeluarkan ramalannya soal terbaru soal ekonomi dunia di 2020 ini. Namun sepertinya prediksi ekonomi global tidak begitu baik.
Keduanya melaporkan akan adanya resesi yang terjadi. Bank Dunia, menggunakan frase "terburuk sejak Perang Dunia II".
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) menyebut "terburuk sejak 100 tahun".
Lalu bagaimana persisnya ramalan keduanya?
Bank Dunia
Ekonomi global diramal Bank Dunia resesi di 2020 ini. Kegiatan ekonomi internasional akan menyusut 5,2% tahun ini atau merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia II.
Hal ini terungkap dalam laporan Global Economic Prospects baru dari Bank Dunia, Senin (8/6/2020). "(Resesi) menjadi yang terdalam di negara maju sejak PD II dan kontraksi output pertama di negara berkembang dalam enam dekade terakhir," tegas Direktur Prospek Grup Bank Dunia, Ayhan Kose.
Aktivitas ekonomi negara maju disebut akan berkontraksi 7% pada tahun 2020. Karena permintaan dan pasokan perdagangan serta keuangan dalam negeri terganggu.
Ekonomi AS misalnya, diprediksi -6,1% sementara kawasan Eropa -9,1%. Sedangkan ekonomi Jepang akan menyusut 6,1%.
Pasar dan ekonomi berkembang (EMDE's) diperkirakan akan berkontraksi 2,5% di 2020. Ini merupakan kontraksi pertama sejak 60 tahun terakhir di mana pendapatan per kapita diperkirakan turun 3,6%.
Ekonomi Amerika Latin susut 7,2%. Sedangkan Asia Timur dan Pasifik turun 0,5%. Meski demikian pertumbuhan China tetap terjadi sebesar 1%.
"Krisis panjang ... dan menimbulkan tantangan global yang besar," kata Wakil Presiden Bak Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan dan Lembaga yang berkeadilan Ceyla Pazarbasioglu.
"Komunitas global harus bersatu untuk pemulihan kembali, mencegah lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan dan pengangguran."
Dalam laporannya Bank Dunia juga memperkirakan akan ada kemungkinan paling buruk, yakni kontraksi ekonomi global hingga 8% di 2020. Di 2021 ekonomi juga diprediksi akan sedikit membaik dan tumbuh 1%.
Sementara untuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan yang flat atau datar, di posisi 0%. Pertumbuhan negara ASEAN paling signifikan terjadi di Vietnam, yang meski melambat tetap tumbuh 2,8%.
Outlook terbaru Bank Dunia ini membuyarkan semua proyeksi awal tahun ini. Di mana ekonomi global diprediksi tumbuh 2,5% di 2020.
[Gambas:Video CNBC]
OECD memprediksi ekonomi global akan berkontraksi setidaknya 6% pada tahun ini akibat penutupan ekonomi guna menekan angka wabah Covid-19.
OECD juga memperingatkan bahwa pemulihan ekonomi global akan "melambat dan tidak pasti". Selain itu, dengan adanya ancaman penularan Covid-19 gelombang kedua (second wave) pada tahun ini, output (keluaran) ekonomi dunia bahkan diprediksi menyusut hingga 7,6% pada tahun 2020.
Output ekonomi biasanya didefinisikan sebagai jumlah barang atau jasa yang diproduksi dalam periode waktu tertentu oleh masyarakat, perusahaan, atau pemerintah, baik untuk dikonsumsi langsung atau diolah kembali untuk produksi lebih lanjut.
Dengan adanya kekhawatiran penyusutan output tersebut, ini akan diikuti dengan pertumbuhan PDB global pada 2021 antara 2,8% dan 5,2%.
Menurut OECD, pertumbuhan PDB global bisa mencapai 5,2% pada 2021 jika hanya ada gelombang pertama Covid-19. Namun jika ada gelombang kedua, maka PDB pada tahun depan hanya akan naik 2,8%.
"Pada akhir 2021, hilangnya pendapatan melebihi dari resesi sebelumnya selama 100 tahun terakhir, di luar masa [terjadinya] perang, dengan konsekuensi yang mengerikan dan cukup lama [berdampak] bagi masyarakat, perusahaan, dan pemerintah," kata OECD dalam laporan terbaru berjudul "World Economy on a Tightrope", Rabu (10/6/2020), dikutip dari Reuters.
"Tingkat utang swasta juga sangat tinggi di beberapa negara dan ada risiko adanya kegagalan bisnis dan kebangkrutan yang besar," tulis lembaga yang berpusat di Paris, Prancis ini.
Dalam laporan pada Maret sebelumnya, saat wabah masih melanda China dan belum tersebar secara global, OECD memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global sebanyak setengah poin persentase menjadi 2,4%, terburuk sejak krisis keuangan 2008.
Selama tidak ada vaksin Covid-19 atau pengobatan terhadap virus corona, OECD menilai para pembuat kebijakan di negara-negara terdampak Covid-19 akan terus berjalan di atas risiko yang tinggi, OECD mengistilahkan berjalan di atas 'tali'.
Lembaga yang beranggotakan sekitar 36 negara ini menilai bahwa sejumlah negara memang berupaya memerangi pandemi dengan mencegah penularan, menguji orang terhadap virus, dan melacak serta mengisolasi mereka yang terinfeksi.
"Tetapi sektor-sektor yang dipengaruhi oleh penutupan perbatasan [lockdown] dan sektor yang berkaitan dengan layanan pribadi seperti pariwisata, perjalanan, hiburan, restoran, dan akomodasi tidak akan berlanjut [tumbuh] seperti sebelumnya," papar laporan tersebut.
Namun laporan OECD memperingatkan kembali, bahwa jika langkah-langkah itu tak mampu mencegah penularan gelombang kedua, maka pemerintah perlu menyesuaikan strateginya pada masa transisi, dan membuka peluang melakukan dukungan restrukturisasi bagi perusahaan-perusahaan terdampak secara cepat.
"Kerja sama global demi mengatasi virus lewat pengobatan dan vaksin serta dimulainya kembali dialog multilateral antar-negara akan menjadi kunci untuk mengurangi keraguan dan membuka momentum pemulihan ekonomi," tulis OECD.